Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB)

Indonesia, menurut Bank Dunia, adalah negara peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia yang memiliki risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak berbagai jenis bencana. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam, antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Beberapa kejadian bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera bagian utara pada tahun 2004, rentetan tiga bencana besar yang terjadi di Indonesia di tahun 2018 (gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu dan Donggala, serta tsunami Selat Sunda), hingga bencana banjir yang rutin menghampiri ibukota negara memberikan gambaran dan fakta yang jelas betapa rentannya negeri ini terhadap bencana alam. Tahun 2020, Indonesia ternyata juga tidak memiliki imunitas terhadap bencana wabah, seperti negara lain, Indonesia harus berhadapan dengan penyebaran virus Covid-19 yang menekan dalam pertumbuhan ekonomi.

Kerugian akibat bencana baik bencana yang rutin terjadi dengan dampak kecil atau jarang terjadi tetapi mampu melumpuhkan ekonomi daerah terdampak sangat mempengaruhi ketahanan APBN. Gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 misalnya, menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi hingga mencapai Rp 51,4 triliun (USD3,5 miliar), sedangkan kemampuan APBN untuk mengalokasikan dana bagi penanggulangan risiko bencana hanya sebesar Rp3-10 T setiap tahunnya. Selain bencana alam tersebut, pada tahun 2020, pandemi COVID-19 juga telah mengakibatkan banyak kerugian bagi baik dari sisi perekonomian, kesehatan, maupun sosial bagi Indonesia, sehingga COVID-19 juga dikategorikan sebagai bencana nasional. Meskipun pada kuartal III 2020 telah menunjukkan beberapa tanda perbaikan, dampak pandemi COVID-19 masih sangat dirasakan masyarakat, antara lain (i) peningkatan kasus harian pasien positif COVID-19 yang masih berada pada kisaran 3.000-4.000an kasus baru per hari serta dengan angka kematian terbanyak di Asia; (ii) terbatasnya kapasitas rumah sakit rujukan yang tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kasus baru; (iii) kontraksi perekonomian yang ditandai dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga -5,32% pada kuartal II dan -3,49% pada kuartal III; (iv) pelebaran defisit APBN hingga 6,34% yang digunakan untuk pembiayaan percepatan penanganan COVID-19; (v) penurunan aktivitas dunia usaha dan industri, khususnya pada sejumlah sektor kontributor utama perekonomian Indonesia; serta (vi) hilangnya sejumlah mata pencaharian dan pendapatan masyarakat dan sektor usaha.

Dengan memperhatikan besarnya dampak bencana-bencana tersebut, maka diperlukan solusi untuk memastikan bahwa pembiayaan bencana dapat disediakan dengan memadai untuk melindungi keuangan negara, aset pemerintah dan masyarakat, namun tanpa memberatkan anggaran negara. Untuk itu Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan kemudian menyusun sebuah strategi pembiayaan risiko penanggulangan bencana.