logo-kmu
logo-kmu
  • FAQ
  • Pengajuan
  • Kontak
x
Perpustakaan / Publikasi
buku panduan gcf

Peluang Sektor Swasta dalam Proyek Adaptasi Perubahan Iklim

Indonesia berpotensi kehilangan Rp544,93 triliun di tahun 2024 pada empat sektor prioritas adaptasi perubahan iklim berdasarkan laporan dari Bappenas, jika pemerintah tidak mengubah mekanisme pengarusutamaan adaptasi pada program/kegiatan pemerintah. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengalokasikan dana untuk mengatasi tantangan dari adaptasi perubahan iklim, namun menurut penandaan dana iklim dari Kementerian Keuangan, negara hanya dapat memenuhi 34% dari kebutuhan pendanaan tersebut .

Untuk memenuhi kesenjangan pendanaan, sangat penting bagi Indonesia untuk mengikutsertakan pendanaan swasta. Sektor swasta memegang peran kunci dalam pengembangan dan implementasi proyek iklim dikarenakan keahlian spesifik sektor, teknologi, efisiensi, pendanaan, dan kewirausahaan yang mereka miliki. Selain itu, keterlibatan sektor swasta akan berperan meningkatkan profil mereka sebagai bisnis yang ramah lingkungan, serta yang lebih penting, mengembangkan model bisnis yang lebih baik untuk menghadapi peristiwa terkait iklim ke depan.

Adaptasi perubahan iklim sendiri dapat dianggap sebagai penyesuaian meluas pada manusia dan sistem alam dalam merespon variasi iklim yang berubah. Meski langkah adaptasi ini belum banyak dieksplorasi, mereka adalah bagian dari usaha kolektif dalam menanggulangi perubahan iklim. Melalui proyek adaptasi iklim tersebut, sektor swasta dapat menggali kesempatan untuk memitigasi risiko bisnis mereka atau mengembangkan peluang bisnis baru.

Hingga saat ini, pelibatan sektor swasta dalam proyek adaptasi iklim masih dianggap terbatas, sebuah studi menyimpulkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh ketidakhadirannya insentif, kerangka kebijakan yang mumpuni, dan minimnya kapasitas untuk menanggulangi tantangan perubahan iklim. Walaupun demikian, studi lainnya juga mengemukakan keniscayaan, kebutuhan, dan pentingnya partisipasi sektor swasta yang lebih luas dalam proyek adaptasi di masa depan.

Jelas sekali bahwa kesenjangan yang perlu diatasi masih banyak. Oleh karena itu, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan sebagai National Designated Authority (NDA) dari Green Climate Fund di Indonesia dan Global Green Growth Institute (GGGI) dengan bantuan Global CAD melakukan sebuah studi yang ditujukan untuk menilai ketentuan yang sesuai untuk mendorong pelibatan sektor swasta dalam proyek adaptasi perubahan iklim di Indonesia, yang temuannya akan dibahas selanjutnya di artikel ini.

 

Ancaman Perubahan Iklim bagi Operasional Bisnis

Melalui studi ini, dapat disimpulkan bahwa tantangan yang berkaitan dengan iklim dapat mengganggu operasi sektor swasta, mulai dari ketersediaan air, hilangnya kargo atau gangguan jaringan distribusi, hingga gagal panen. Memperhatikan keadaan beberapa bulan terakhir, pandemi COVID-19 telah mengekspos bagaimana bisnis dan negara sangan rentan terhadap bencana skala global, dan kita mungkin berandai-andai apakah bumi ini dapat menghadapi tragedi yang sama dengan perubahan iklim di tahun mendatang.

Di Indonesia, tantangan terkait iklim umumnya berbentuk dalam berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kenaikan muka air, atau kekeringan. Publik dapat mengingat dampak menghancurkannya banjir Jakarta pada awal tahun 2020, yang menimbulkan kerugian bagi para pemangku kepentingan sebesar Rp5,2 triliun (Bappenas, 2020).

 

Pelibatan Sektor Swasta Saat Ini dalam Pendekatan Adaptasi Iklim

Sesungguhnya, banyak bisnis dan perusahaan yang sudah mengidentifikasi tantangan iklim ini dan menentukan langkah adaptasi untuk memastikan keberlanjutan bisnis mereka. Langkah tersebut umumnya termasuk penilaian risiko terhadap perubahan iklim, meski belum tentu dianggap sebagai terkait iklim dan hanya sebagai bagian dari penilaian risiko umum.

Mengacu pada berbagai dokumen strategi seperti Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), RAN-API, Country Programme GCF untuk Indonesia, studi ini mencakup tiga sektor adaptasi utama yang dapat dieksplorasi, yaitu: air, agrikultur, dan kesehatan. Selain itu, tiga sektor ini juga berkontribusi besar pada PDB Indonesia.

Contohnya pada sektor kesehatan, ada dua fakta yang jelas. Pertama, perubahan iklim telah meningkatkan risiko penyakit tertentu, seperti diare dan demam berdarah. Kedua, merupakan pengetahuan umum bahwa sektor swasta adalah salah satu pemain besar di industri, dengan perkembangan cepat rumah sakit swasta di perkotaan. Tetapi, area terpencil yang secara bersamaan memiliki isu yang sama, tidak akan disuplai oleh rumah sakit swasta karena kurang atraktif dari segi profit.

Di kesempatan lain, perusahaan juga dapat berkontribusi melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk semakin mendekatkan diri dengan lingkungan dan kepentingan masyarakat di daerah perusahaan tersebut beroperasi. Sayangnya, sebuah studi di tahun 2017 menganalisa performance CSR dari 200 perusahaan terbesar di Indonesia menunjukkan hanya 16% dari program CSR yang menargetkan pada isu iklim.

Studi ini dapat menyimpulkan bahwa investasi swasta di tiga sektor ini masih terbatas. Analisis cost-benefit menemukan bahwa berinvestasi di area ini tidak dapat menarik keuntungan yang signifikan. Ada pula penyebab yang mendasar, yaitu pengetahuan swasta terhadap perubahan iklim sangat kurang dan asumsi yang tumbuh bahwa pemerintah merupakan pihak yang satu-satunya bertanggung jawab. Pada kenyataannya, semua pihak bertanggung jawab.

 

Mengapa Terlibat dalam Adaptasi Perubahan Iklim?

Hingga saat ini, dengan melihat dari perspektif sektor swasta, pertanyaan sederhana yang dapat muncul di benak kita adalah, “Apa keuntungan bagi sektor swasta sehingga perlu terlibat dalam proyek adaptasi perubahan iklim?”. Menjawab hal itu, studi ini mengidentifikasi tiga alasan. Pertama adalah untuk memitigasi risiko yang dibawa oleh bencana terkait iklim, yang dapat membantu sektor swasta menghindari potensi kerugian yang timbul di kemudian hari.

Meski ini mungkin faktor yang minor, argumen yang kedua adalah untuk membangun citra brand yang positif. Operasi bisnis yang ramah lingkungan tidak akan menyakiti siapapun dan justru dapat memperkuat brand perusahaan serta berkontribusi pada masyarakat yang lebih berketahanan.

Alasan ketiga adalah untuk menghasilkan keuntungan. Walaupun konsensus dari sektor swasta terkait hal ini masih cenderung pesimis, studi ini menemukan bahwa ada peluang yang dapat diambil ketika sektor swasta terlibat langsung dalam proses bisnis yang terkait dengan dengan adapatasi perubahan iklim.

 

Skema Pendanaan dan Peluang Bagi Proyek Adaptasi

Ada beberapa instrumen yang tersedia bagi badan swasta untuk terlibat dalam proyek adaptasi iklim dan dapat memperoleh keuntungan secara finansial. Mereka terdiri dari pinjaman, etika bisnis, dan instrumen de-risking, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Berikut adalah penjelasan singkat dan contoh dari masing-masing instrumen.

  1. Instrumen Pinjaman – Kerja Sama Pemerintah dan Swasta

Kerja Sama Pemerintah dengan Swasta (KPPBU) adalah skema yang lebih disukai mengingat ada pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan swasta. Di Indonesia, proyek KPPBU dalam adaptasi iklim dapat ditemukan di Umbulan, Jawa Timur, sebuah proyek yang ditujukan untuk mengembangkan sistem suplai air untuk 13 juta orang di Wilayah Surabaya Raya. KPS ini merupakan kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan PT. Meta Adhya Tirta Umbulan. Nilai investasi dari proyek ini mencapai Rp2,05 triliun dan pada akhirnya dapat menyediakan air bersih yang terjangkau (Rp5.280/m3) kepada masyarakat.

  1. Etika Bisnis – Manajemen keberlanjutan bisnis

Manajemen keberlanjutan bisnis memiliki reputasi yang baik di Indonesia sebagai bagian dari proses uji kelayakan sebelum memperoleh pinjaman dari bank. Dalam konteks adaptasi perubahan iklim, bisnis dapat mempraktikannya sebagai bagian dari sistem Manajemen krisis. Bayer, salah satu perusahaan kimia terbaik dunia, telah menggunakan pendekatan yang serupa untuk adaptasi perubahan iklim. Mereka telah mengembangkan matriks risiko perubahan iklim untuk membantu mereka mengantisipasi kejadian di masa depan. Melalui matriks serupa, pertimbangan adaptasi dapat dimasukkan untuk memastikan efisiensi dari operasional perusahaan. Dalam etika bisnis keberlanjutan yaitu memasukan risiko lingkungan dalam proses mekanisme bisnis, dalam artian tidak hanya memasukan risiko ekonomi pada mekanisme bisnis.

  1. Instrumen Pengurangan Risiko – Asuransi

Asuransi juga dapat dijadikan sebagai alat untuk usaha adaptasi perubahan iklim. Contoh dari ini adalah proyek percobaan dari PT. Asuransi Central Asia (ACA) di Dompu, Nusa Tenggara Barat yang menawarkan asuransi berbasis ganti rugi untuk sektor jagung, nasi, dan perikanan. Proyek ini telah mencakup ribuan hektar lahan dari ketiga sektor tersebut, dengan premium yang dibayarkan oleh petani sebesar 3-10% dari biaya input per ha per musim tanam. Beberapa klaim telah berhasil dibayarkan oleh ACA, bahkan beberapa dari inisiatif mereka pribadi karena risikonya terlanjur terjadi.

Bergerak Ke Depan

Masih banyak tantangan untuk mencapai pelibatan sektor swasta yang ideal dalam proyek adaptasi perubahan iklim. Bagi pemerintah, ada tiga tugas penting yang perlu dicapai dalam waktu dekat, yaitu meningkatkan kesadartahuan dan kapasitas teknis dari berbagai pemangku kepentingan dalam artian menciptakan symetric information antara pemerintah dan swasta, memperbaiki kerangka regulasi dan hukum, serta memfasilitasi akses sektor swasta kepada dana.

Untuk komunitas swasta, studi ini menemukan bahwa meningkatkan kesadartahuan dari sektor swasta adalah titik mulai yang ideal dalam pengarusutamaan sektor adaptasi. Kesadartahuan tersebut merupakan titik awal bagi sektor swasta untuk dapat berperan aktif pada proyek-proyek yang terkait dengan adaptasi.

Selain itu, fasilitasi pemerintah pada sektor swasta untuk area yang belum tereksplorasi pada proyek adaptasi dalam usaha mencari keuntungan akan selalu menjadi relevan. Bahkan, NDA GCF Indonesia dapat membantu memfasilitasi proses bisnis dalam mengakses jendela pendanaan fasilitas sektor swasta pada Green Climate Fund (GCF), yang menyediakan instrumen konsesional untuk mengurangi risiko proyek, mengembangkan pasar, dan meningkatkan investasi terkait iklim.

Meski studi ini telah menunjukkan berbagai model pelibatan dan instrumen yang tersedia yang dapat diutilisasi lebih jauh untuk meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam proyek adaptasi perubahan iklim, pasar ini masih sangat prematur dan masih jauh dari transformasi yang terjadi di area mitigasi. Untuk menyatukan faktor pendorong dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengakses pendanaan di level lokal dan nasional, sangat penting bagi pasar dan pemangku kepentingan kunci untuk merespon insiatif pendorong dari para pembuat kebijakan. Kemudian, kebijakan perusahaan juga harus didorong ke arah paradigma keberlanjutan. Agar sektor swasta diharapkan dapat berperan aktif pada kegiatan adaptasi maka perlu dibangun ekosistem yang memungkinkan peran aktif tersebut.

Ekosistem yang memungkinkan peran aktif tersebut akan mendorong para aktor penting, termasuk publik, swasta, dan masyarakat sipil untuk berkolaborasi dalam membangun dan mencapai bangsa yang tahan iklim.

Artikel ini merujuk pada Laporan Studi Lingkungan Pendukung untuk Keterlibatan Sektor Swasta dalam Proyek Adaptasi Perubahan Iklim.