Gender dan perubahan iklim telah menjadi isu utama dalam pembangunan, namun penyebutan kedua isu di tempat yang sama dan pada saat yang sama masih jarang. Sementara Pemerintah Indonesia memiliki upaya put untuk mengatasi masalah ini, integrasi mereka belum berkembang dengan baik sebagai entitas yang bertanggung jawab untuk masalah jarang berkolaborasi satu sama lain. Pengarusutamaan perspektif gender dalam kebijakan perubahan iklim akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan membawa dampak positif bagi orang yang terkena atau berpotensi terkena dampak perubahan iklim, termasuk perempuan dan kelompok rentan.
Badan Kebijakan Fiskal (FPA) sebagai Designated National Authority Indonesia untuk Green Fund Iklim (GCF-NDA) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MoWECP) mengambil inisiatif untuk berkolaborasi dalam sebuah lokakarya tentang Program Perubahan Iklim dengan Perspektif Gender. Lokakarya ini diselenggarakan pada tanggal 15-16 2019 di Hotel Santika, Bogor, untuk memperkuat kapasitas Program pelaksana tentang pengarusutamaan gender ke dalam perubahan iklim kebijakan / program. workshop ini, didukung oleh GGGI dan UNDP, dihadiri oleh 54 pejabat eselon III dan IV pejabat dari MoWECP dan kementerian terkait / lembaga.
Dalam sambutannya pembukaan, Dudi Rulliadi dari FPA menekankan pentingnya untuk memahami manfaat dari pengarusutamaan prinsip-prinsip gender ke dalam pembuatan kebijakan perubahan iklim. Ia menyoroti bagaimana perspektif gender adalah salah satu isu sentral dalam kebijakan perubahan iklim, termasuk skema pendanaan iklim seperti Green Climate Fund (GCF). Deputi Kesetaraan Gender dari MoWECP, Agustina Erni, dalam keynote speech-nya menyoroti kebutuhan untuk mengembangkan perubahan iklim kebijakan nasional yang responsif gender dalam upaya dampak perubahan iklim tempur. Selain itu, dia juga mendorong koordinasi yang kuat antara kelompok kerja perubahan iklim dan kelompok kerja gender dalam setiap kementerian untuk mempercepat dampak kebijakan terkait.
Lokakarya ini menggunakan metode partisipasi aktif dan inovatif untuk mendorong ide-ide dan opini yang mengalir dari semua peserta. Dari diskusi kelompok, peserta mengungkapkan bahwa gender mengintegrasikan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat penting sebagai perempuan dan laki-laki mengalami dampak yang berbeda dari perubahan. Perbedaan-perbedaan ini perlu ditangani dalam pembuatan kebijakan, seperti dalam membuat jalur evakuasi di daerah pesisir. Beberapa rekomendasi juga dikembangkan, baik di tingkat kebijakan dan program yang. Pada tingkat kebijakan, koordinasi antara kementerian terkait dan lembaga, perencanaan responsif gender dan penganggaran dalam kebijakan perubahan iklim, implementasi kebijakan responsif gender, dan sosialisasi kebijakan perubahan iklim responsif gender diidentifikasi sebagai inovasi penting untuk dilaksanakan. Sementara itu, di tingkat program, MoWECP akan memulai serangkaian bantuan teknis perencanaan dan penganggaran responsif gender pada program perubahan iklim di Maros, Sulawesi Selatan. Secara umum, semua peserta juga sepakat bahwa sosialisasi isu perubahan iklim responsif gender penting di semua tingkat pemerintah. Lokakarya ini juga menyoroti urgensi kebijakan pengarusutamaan gender ke Badan Layanan Umum yang baru tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lokakarya menyimpulkan dengan komitmen peserta untuk mulai mengintegrasikan isu gender dalam perumusan kebijakan perubahan iklim serta teratur berkoordinasi dengan satu sama lain, seperti mengintegrasikan perspektif gender ke dalam ‘ Sekolah Lapang Iklim ’ (Sekolah Lapang Iklim) kurikulum, serta mengundang petani perempuan atau memulai inisiatif kantor hijau di kantor masing-masing.
/ Titaningtyas, GGGI Indonesia Senior Associate on Green Finance