logo-kmu
logo-kmu
  • FAQ
  • Pengajuan
  • Kontak
x
Perpustakaan / Publikasi
buku panduan gcf

Kebijakan Inovatif GCF: Pencegahan dan Perlindungan Dari Eksploitasi, Perilaku Menyimpang, Dan Pelecehan Seksual (SEAH)

Untuk memperkuat integritas dan akuntabilitasnya, Green Climate Fund (GCF) membuat kebijakan yang inovatif terkait eksploitasi, perlakuan menyimpang, dan pelecehan seksual (Sexual Exploitation, Abuse, and Harrassment/SEAH).

Pada 2019, GCF menerbitkan Dokumen Kebijakan tentang Pencegahan dan Perlindungan dari Eksploitasi Seksual, Perilaku Seksual Menyimpang, dan Pelecehan Seksual (the Policy on the Prevention and Protection from Sexual Exploitation, Sexual Abuse, and Sexual Harassment/Kebijakan). Dokumen tersebut merupakan lampiran dari dokumen GCF/B.23/16 yang berisi poin-poin hasil Rapat Dewan GCF pada 6-8 Juli 2019 di Songdo, Incheon, Republik Korea (Korea Selatan).

Adanya dokumen tersebut menunjukkan keseriusan GCF dalam menolak SEAH, karena SEAH melanggar martabat manusia dan norma serta standar hukum internasional yang diakui secara universal. GCF memandang bahwa SEAH yang dihasilkan dari budaya diskriminasi dan hak istimewa bagi individu atau kelompok tertentu menyebabkan hubungan yang tidak merata dan kesenjangan dalam suatu komunitas, sehingga berpengaruh pada GCF untuk mencapai misinya. Oleh karenanya, GCF tidak menolerir SEAH dalam segala bentuk di setiap kegiatan yang terkait dengannya.

GCF sadar bahwa SEAH menimbulkan permusuhan dalam pekerjaan dan di lingkungan kerja yang menghalangi berkembangnya potensi dan kemampuan seseorang atau kelompok yang menjadi korban.

Melalui Dokumen Kebijakan tersebut, GCF mengharuskan seluruh pihak, baik internal maupun eksternal, untuk melakukan pencegahan dan memberikan reaksi terhadap SEAH. Dokumen tersebut menjabarkan kewajiban yang tegas bagi seluruh pihak yang terlibat di GCF serta seluruh rekanannya.

Kewajiban Para Pihak yang Terlibat dalam GCF

Setiap pihak, baik internal maupun eksternal, wajib menjunjung tinggi dan menegakkan seluruh prinsip yang terkandung dalam Dokumen Kebijakan tersebut serta menciptakan dan memelihara lingkungan yang bebas SEAH.

Mereka tidak boleh menolerir, mendorong, berpartisipasi, atau bahkan terlibat SEAH dalam setiap kegiatan yang terkait dengan GCF. Misalnya menggunakan posisi mereka untuk melakukan pelecehan seksual, eksploitasi, atau perlakuan menyimpang terhadap orang yang melaksanakan, terlibat dalam, atau mendapat manfaat dari kegiatan yang didanai GCF.

Di samping itu, mereka juga tidak boleh terlibat dalam aktivitas seksual dengan seorang anak sesuai definisinya dalam Pasal 1 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Anak (the United Nations Convention on the Rights of the Child). Definisi ini sejalan dengan Undang-undang di Indonesia No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyatakan ketidaktahuan tentang definisi usia anak itu untuk dijadikan pembelaan. Setiap kegiatan seksual yang melibatkan anak merupakan eksploitasi seksual atau pelecehan seksual.

Seluruh pihak yang terlibat GCF, baik internal maupun eksternal, juga wajib melaporkan setiap dugaan kasus SEAH dalam suatu kegiatan yang didanai GCF sesegera mungkin kepada Unit Integritas Independen (The Independent Integrity Unit/IIU), GCF. Mereka juga diharuskan untuk bersikap kooperatif dalam seluruh proses investigasi, tinjauan integritas yang proaktif, atau penyelidikan sebagaimana diatur dalam Dokumen B.BM-2018/21 tentang Kebijakan Perlindungan Pelapor dan Saksi. Hal ini tergantung pada keberadaan mekanisme perlindungan terhadap pembalasan terhadap pelapor. Bagi petugas, pejabat, manajer, atau staf GCF yang menerima laporan terkait dugaan SEAH dari pihak mana pun harus segera meneruskan laporkan kepada IIU.

Setiap pihak yang menjadi rekanan GCF, baik sebagai Entitas Terakreditasi (Acredited Entities/AE) maupun Mitra Pelaksana (Delivery Partners/DP) harus memiliki kebijakan dan prosedur yang efektif untuk memastikan pencegahan, deteksi, investigasi, perbaikan, dan bahkan jika perlu, memberikan sanksi dan laporan kepada lembaga negara yang berwenang agar diproses sebagai pelanggaran pidana terkait SEAH yang terjadi di setiap kegiatan yang didanai GCF. Di Indonesia, kasus kekerasan dan pelecehan seksual diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dijabarkan lebih lanjut dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagaimana tercantum dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Dalam pelaksanaan kegiatan yang didanai GCF sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 pada Dokumen Kebijakan tersebut, seluruh AE maupun DP harus memastikan agar pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan tersebut memberitahu AE atau DP setiap dugaan atau kecurigaan terhadap suatu kejadian yang terkait SEAH dengan segera melalui saluran yang tersedia.

Di samping itu, mereka juga harus bekerja sama dengan AE atau DP lain yang terkait untuk melakukan penyelidikan terhadap laporan dugaan atau kecurigaan tentang terjadinya SEAH atau perilaku apa pun yang secara substansial setara dengan SEAH. Mereka juga harus mengambil berbagai langkah yang tepat, untuk memastikan keterlibatan setiap orang yang terkait, yang ada dalam kendali mereka dalam penyelidikan tersebut.