logo-kmu
logo-kmu
  • FAQ
  • Pengajuan
  • Kontak
x
Pembaruan / Berita

Peningkatan Kapasitas dalam Mengakses Pembiayaan Berkelanjutan dan Penerapan Konsep ESG untuk Mengatasi Tantangan Iklim

Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris, semua negara, termasuk Indonesia, bersepakat untuk berkomitmen dalam aksi iklim dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan, aksi untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1.5°C di atas tingkat suhu pada periode pra-industri. Dibutuhkan pembiayaan yang besar untuk dapat mencapai target ini, sementara pembiayaan publik tidak dapat sepenuhnya mencukupi. Oleh karena itu, investasi dari sektor swasta sangat diperlukan untuk menutup kesenjangan pembiayaan yang ada dalam aksi perubahan iklim.

Pada tahun 2020, Green Climate Fund (GCF) menyetujui sebuah program pendanaan yaitu Sub-National Climate Fund (SCF) yang juga diimplementasikan di Indonesia. Program SCF bertujuan untuk mengkatalisasi investasi iklim pada tingkat daerah, terutama untuk solusi iklim untuk mendukung pencapaian target nasional. Salah satu tujuan dan kegiatan Program SnCF adalah peningkatan kapasitas pemangku kepentingan yang relevan dalam memahami model pendanaan SnCF dan alternatif model pendanaan keberlanjutan lainnya untuk mengisi kesenjangan finansial dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di Indonesia. 

Maka dari itu, sebagai bagian dari program SCF, International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Climate Bonds Initiative bekerja sama dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) selaku NDA GCF Indonesia yang didukung oleh Global Green Growth Institute (GGGI) mengadakan serangkaian kegiatan lokakarya yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan nasional dalam mengatasi tantangan iklim, khususnya bagi pemerintah daerah, perusahaan yang bergerak di sektor agribisnis, serta lembaga keuangan. Kegiatan ini dilaksanakan selama empat hari, dari tanggal 30 September hingga 3 Oktober 2024 di Hotel JW Mariott Jakarta.

Lokakarya pertama yang berjudul “Menarik Pembiayaan Iklim dan Berbasis Alam bagi Pemerintah Daerah” berlangsung selama dua hari, yaitu pada 30 September dan 1 Oktober 2024. Lokakarya ini berfokus pada topik terkait peluang dan opsi pembiayaan berkelanjutan yang dapat diakses oleh pemerintah daerah untuk mendukung program iklim dan berbasis alam di masing-masing daerah. Kegiatan dibuka oleh Bapak Boby Hernawan selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Didalam sambutannya, Ia menekankan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki posisi yang strategis untuk berkontribusi dalam menghadapi tantangan iklim. Kolaborasi antara Pemda, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan juga sektor privat harus dikuatkan untuk mewujudkan hal tersebut. 

Pemerintah sub-nasional – Pemda dan Pemprov – berada pada posisi yang strategis untuk mengimplementasikan upaya iklim.  Namun, mereka sering menemui tantangan dalam mengakses pembiayaan, terutama dari pihak swasta. Kolaborasi antara pemerintah sub-nasional, termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan sektor swasta memiliki potensi besar untuk masa depan. – Boby Hernawan, Kepala Pusat PKPPIM BKF

Pelatihan pada serangkaian lokakarya ini dikemas dalam format yang interaktif. Selain topik terkait pembiayaan berkelanjutan, pada lokakarya pertama ini peserta yang berasal dari Pemda juga diajak untuk mengenal lebih jauh terkait topik Nature Based Solution (NbS) sebagai solusi permasalahan kota yang memiliki peran penting dalam penanganan perubahan iklim. Peserta didorong untuk mendiskusikan ide rencana pengembangan proyek NbS di kota mereka, untuk menarik peluang pembiayaan berkelanjutan. 

Pada lokakarya kedua yang berjudul “Solusi Berbasis Alam untuk Agribisnis: Pertanian Regeneratif”, yang difokuskan lebih dalam pada sektor agribisnis (salah satu sektor yang menerapkan pendekatan NBS) yang juga mendukung ketahanan pangan di negara berkembang, serta memiliki potensi dampak yang besar terkait mitigasi, adaptasi, pemulihan alam dan penciptaan lapangan kerja. Sektor agrikultur termasuk ke dalam sektor prioritas dalam upaya penanganan perubahan iklim. Sektor ini bertanggung jawab atas 31% emisi gas rumah kaca global, yang mengakibatkan hampir 90% deforestasi global setiap tahunnya*. Dalam lokakarya ini, peserta yang hadir dari kalangan pemilik proyek agribisnis serta lembaga keuangan yang diajak untuk memahami lebih dalam terkait dengan pertanian regeneratif.

Lalu, pada lokakarya terakhir yang berjudul “Pengelolaan Dampak dan Risiko ESG dalam Investasi berbasis Alam dan Iklim”, dilibatkan peserta yang mayoritas berasal dari kalangan lembaga keuangan, yang kemudian diajak untuk mengidentifikasi isu-isu Environmental, Social, Governance (ESG). Dalam sesi lokakarya ini terdapat pembahasan terkait bagaimana langkah untuk mengintegrasikannya ke dalam institusi keuangan, potensi dampaknya terhadap sektor mereka, serta bagaimana cara untuk mengatasi isu-isu tersebut. Harapannya, pemahaman dan penerapan ESG dapat mendorong keterlibatan sektor swasta dalam meningkatkan investasi berbasis alam dan iklim. Pada lokakarya terakhir ini, perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan, Bapak Jarot Sutoyo, juga memberikan paparan pengantar dari sisi regulasi yang menjelaskan terkait Taksonomi Keuangan Berkelanjutan, sebagai konsep kunci dalam keberlangsungan praktik ESG di Indonesia. 

Rangkaian kegiatan lokakarya ini merupakan langkah penting dalam mendukung upaya nasional dan sub-nasional untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, sektor swasta, hingga lembaga keuangan, kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kapasitas dalam mendesain proyek berkelanjutan serta mengakses pembiayaan hijau dan menerapkan prinsip-prinsip ESG di berbagai sektor, yang memberikan dampak positif terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.