logo-kmu
logo-kmu
  • FAQ
  • Pengajuan
  • Kontak
x
Pembaruan / Berita

Gender dan Inklusi Sosial dalam Proyek Perubahan Iklim

Semua orang, termasuk perempuan dan masyarakat adat, adalah aktor kunci dalam mengatasi isu-isu perubahan iklim. Dalam mengembangkan proyek untuk mendapat pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) salah satu aspek yang jarang diketahui publik adalah pentingnya pertimbangan pengarusutamaan gender dan inklusi sosial dengan perhatian khusus pada masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proyek iklim. Hal ini karena kelompok rentan seperti perempuan, anak, lansia, dan masyarakat adat seringkali terdampak oleh perubahan iklim dan proyek iklim secara berbeda dan tidak proporsional. National Designated Authorities (NDA) Indonesia, dengan dukungan Global Green Growth Institute (GGGI), membahas isu ini melalui webinar tentang “Gender, Masyarakat Adat, dan GCF” yang dilaksanakan pada 12 Agustus 2021. Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas Call for Project Concept Note yang dilaksanakan pada bulan Juni lalu.

Dalam sesi ini, NDA dengan bermitra dengan ECo menjelaskan bahwa perspektif gender dan inklusi sosial perlu digunakan dalam seluruh tahapan proyek, mulai dari tahap identifikasi dan desain proyek, termasuk proyek yang berpotensi memengaruhi kehidupan sejumlah besar masyarakat adat yang ada di Indonesia. Pada tahun 2018, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ada 50 – 70 juta masyarakat adat di Indonesia1, sehingga kemungkinan keberadaan proyek iklim memengaruhi kehidupan mereka cukup tinggi. Selain itu, untuk mendukung Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender dalam Pembangunan, pada tahun 2010,Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menerbitkan peraturan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) yang mendorong penggunaan lensa gender dan inklusi sosial dalam semua sektor pembangunan, termasuk sektor-sektor terkait isu perubahan iklim.

Webinar ini juga menjawab banyak kesalahpahaman seputar pengarusutamaan gender, seperti anggapan bahwa isu gender hanya menyorot permasalahan perempuan. Melalui pengarusutamaan gender, perbedaan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki harus dipertimbangkan dalam seluruh tahapan pembangunan. Sebagai contoh, hingga awal tahun 2000 rata-rata lama sekolah anak perempuan lebih rendah dari anak laki-laki, karena anak laki-laki dipersiapkan menjadi pencari nafkah utama, sedangkan anak perempuan dipersiapkan menjadi ibu rumah tangga. Namun, di wilayah pesisir rata-rata lama sekolah anak laki-laki lebih rendah dari anak perempuan. Hal ini terjadi karena anak laki-laki seringkali harus mengikuti ayah mereka sebagai pencari nafkah untuk melaut yang menyebabkan mereka putus sekolah selepas lulus sekolah dasar, sedangkan anak perempuan dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah pertama. Para peserta juga berhasil mengidentifikasi kelompok rentan lainnya yang akan mereka pertimbangkan dalam proyek iklim, yaitu pekerja migran dan pemulung.

Lensa gender dan inklusi sosial perlu dikenakan sepanjang proyek, mulai dari tahap perencanaan dan desain proyek, persiapan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi. Beberapa pemrakarsa proyek merasa dinamika sosial gender dan inklusi berada di luar cakupan proyek mereka, dan isunya sangat rumit untuk diatasi. Akan tetapi, webinar ini menyoroti bahwa gender dan inklusi sosial dapat diintegrasikan ke proyek dalam bentuk yang paling sederhana, seperti tidak membatasi pelibatan salah satu jenis kelamin saja, atau memastikan setiap kelompok yang ada dalam komunitas terdampak memiliki perwakilan dalam diskusi proyek dan proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan komunitas di area proyek. Memastikan suara setiap kelompok masyarakat terdengar dan dipertimbangkan dapat membuat perbedaan besar dalam desain dan implementasi proyek.

Mengutip Chandra Sugarda sebagai Spesialis Gender dan Inklusi Sosial NDA, “pengarusutamaan gender (dan inklusi sosial) tidak hanya dilihat dari jumlah partisipasi dan keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat, namun juga cara mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda dan memberikan akses untuk berpartisipasi kepada semua warga, termasuk kelompok rentan”. Project Concept Note merupakan pintu masuk kepada pendanaan GCF, maka sangat penting untuk mengarusutamakan gender dan inklusi sosial sejak tahap identifikasi proyek. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan kelompok masyarakat yang berbeda-beda dan membangun lingkungan yang aman serta mendukung bagi mereka untuk terlibat dalam seluruh tahapan proyek.

Webinar ini adalah sesi tambahan pertama dari rangkaian kegiatan penulisan nota konsep (concept note) GCF. Pemrakarsa proyek perlu mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dari rangkaian webinar ini untuk memperbaiki desain proyek dan memperkuat cara mereka mengimplementasikan proyek perubahan iklim ke depannya.

[https://www.refworld.org/docid/4954ce40c.html](https://www.refworld.org/docid/4954ce40c.html)
[diakses pada 30 Agustus 2021]