Kajian Evaluasi Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Mineral dan Batubara

Penulis: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (2014)

Perkembangan penerimaan negara dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren peningkatan yang pesat. Namun demikian, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami laju peningkatan yang jauh berbeda. Dalam periode 2006-2012, penerimaan perpajakan meningkat sebesar 107 persen sedangkan PNBP hanya meningkat sebesar 22 persen.

Kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan umum  dan batubara masih lebih kecil dari pada potensi yang sebenarnya. Penerimaan PNBP pertambangan umum  dan batubara  sebesar Rp 8.7 Triliun (2007), 12.5 Triliun (2008), 15.3 Triliun (2009), 18.6 Triliun (2010) dan 24.2 Triliun (2011). Sementara penerimaan pajak  sektor ini sebesar 29.3 Triliun (2007), 35,4 Triliun (2008), 36.1 Triliun (2009), 48,3 Triliun (2010) dan 70.5 Triliun  (2011). 

Rendahnya pertumbuhan penerimaan PNBP khususnya dari sektor pertambangan batubara memerlukan penanganan yang serius untuk mengoptimalkan potensi penerimaan negara.

Target penerimaan PNBP sektor pertambangan umum dan batubara dalam APBN  tahun 2013 sebesar 31,6 triliun. Target penerimaan PNBP ini  direncanakan diperoleh dari  pembayaran PNBP dari  para wajib bayar yang terdiri PKP2B (perjanjian penambangan batubara), Kontrak Karya (perjanjian penambangan mineral) maupun izin usaha pertambangan (penambangan mineral dan batubara) selama tahun 2013.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Thamrin Sihite pada tanggal 14 Juni 2013 menyampaikan Pemerintah dan DPR telah menyepakati royalti batubara mulai tahun 2014 royalti  dinaikkan menjadi 10%-13%. Rencana kenaikan royalti tersebut diharapkan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun. Rencana kenaikan tarif royalti ini berlaku untuk pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan).  Target penerimaan PNBP tahun 2013 sebesar Rp 31.6 triliun dianggap masih belum seimbang dengan ekploitasi sumber daya alam.

Sebagai tindak lanjut dari keinginan peningkatan penerimaan negara dari sektor  industri batubara, pemerintah akan melakukan revisi  Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Salah satu pertimbangan pemerintah  untuk melakukan revisi adalah menyamakan tarif royalti yang berlaku bagi pemegang pemegang IUP dan IUPK dengan  pemegang PKP2B batubara. Besaran tarif royalti baru bagi pemegang IUP batubara yang sedang dikaji adalah 10-13.5%. Argumentasinya dengan tarif royalti sebesar 13.5%, perusahaan pemegang PKP2B mampu membukukan laba yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah menganggap bahwa penerimaan negara akan meningkat signifikan apabila tarif royalti bagi pemegang IUP dan IUPK batubara disamakan dengan tarif royalti yang berlaku bagi pemegang PKP2B.

Sumber daya  mineral  yang ada di Indonesia meliputi tembaga, emas primer, perak, bijih nikel, pasir besi, bauksit, serta timah. Sumber daya yang paling banyak adalah bijih nikel dan bauksit. Sumber daya dan Cadangan Komoditi Utama Pertambangan (dalam juta Ton)  ESDM menurut  Alamsyah (2006)  terbesar adalah bijih nikel  1.338,2 juta ton, timah 0,62 juta ton  dan tembaga 66,2 juta ton serta emas primer 0,005 juta ton.

Untuk  melaksanakan pemungutan PNBP pemerintah menggunakan dasar hukum berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri ESDM serta  instrumen   perjanjian berupa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Dasar hukum terkait meliputi Undang-Undang No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara Jo PP No. 24 /2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah  No. 9/2012 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku di KESDM, Keputusan Presiden No. 75/1996 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok PKP2B, Peraturan Menteri ESDM No 17/2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara, Kontrak Karya (KK) serta Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Berdasarkan data dari Ditjen Minerba - Kementerian ESDM, dapat diketahui bahwa saat ini terdapat 74 perusahaan PKP2B yang beroperasi dan 10.660 pelaku usaha IUP. Dari total perusahaan IUP tersebut, 5.120 perusahaan telah berstatus clean and clear, sedangkan 5.540 perusahaan lainnya belum mendapatkan status clean and clear dimaksud (data per 12 November 2012). Diharapkan dengan kejelasan status IUP tersebut akan meningkatkan kepatuhan wajib bayar dalam melunasi kewajiban terhadap negara serta memudahkan pengawasan oleh instansi pemeriksa.

Pungutan atas pertambangan berupa pajak pusat dan pajak daerah. Khusus untuk PKP2B dan KK dilakukan pemungutan sesuai dengan jenis pungutan yang ada dalam kontrak. Untuk wajib bayar yang berstatus IUP membayar royalti berdasarkan tarif  PP 9 Tahun 2012 tentang Jenis Dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. Tarif mineral mempunyai dasar hukum yang sama dengan batubara. Mineral timah dikenakan royalti sebesar 3% dari harga jual. Sementara mineral tembaga, emas, dan nikel dikenakan 4% dari harga jual.

Kelemahan penggunaan presentase  adalah tidak  memperhitungkan kondisi keuangan perusahaan. Sehingga jika perusahaan laba besar maka proporsi penerimaan PNBP menjadi kecil, namun jika harga cenderung turun maka perusahaan akan mempunyai beban produksi yang besar.

Pengenaan royalti berdasarkan laba  akan menyebabkan  sulit  perhitungannya, beban administrasinya tinggi, ada risiko praktik akuntansi yang curang serta risiko pergeseran pendapatan, biaya atau laba. Model ini cukup adil bagi investor serta negara dan jenis royalti yang dihitung berdasarkan basis keuntungan (profit) dari kegiatan operasi pertambangan. Royalti jenis ini dapat diklasifikasikan sebagai pajak. Pengenaan PNBP dapat dikenakan berdasar laba namun membutuhkan pengawasan yang ketat dari pemerintah.  

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan dasar pengenaan, sejauh ini tidak ada permasalahan yang timbul dalam penerapan harga jual per ton sebagai dasar pengenaan PNBP batubara. Setiap bulannya, Kementerian ESDM menerbitkan Harga Batubara Acuan sebagai patokan untuk menghitung kewajiban PNBP yang harus dilunasi oleh perusahaan. Besarnya PNBP yang harus dibayar diperoleh dengan cara mengalikan tarif dengan harga dikalikan dengan volume produksi dalam ton.

Penetapan tarif berdasarkan skala produksi kurang tepat mengingat hal tersebut dapat memicu perusahaan untuk melakukan under-reporting. Metode penetapan tarif yang dibedakan berdasarkan tingkat produksi pernah diterapkan pada periode 1998-2000 dengan diterbitkannya PP Nomor 58 Tahun 1998. Dengan ketentuan tersebut, perusahaan dengan tingkat produksi yang lebih tinggi dikenakan tarif PNBP yang lebih tinggi pula. Dari sisi asas keadilan, hal ini dinilai tepat untuk mengurangi dampak regresivitas tarif spesifik. Saat ini tarif yang digunakan adalah tarif ad-valorem dalam besaran persentase. Karena itu, penerapan tarif tersebut tidak menimbulkan dampak regresif sehingga tidak perlu dibedakan berdasarkan skala produksi. Selain itu, penetapan tarif berdasarkan skala produksi dapat memicu perusahaan untuk melakukan under-reporting (melaporkan produksi lebih rendah dari yang sebenarnya) untuk mendapatkan tarif PNBP yang lebih rendah. Hal ini sebenarnya dapat diatasi melalui pengawasan namun hal tersebut memerlukan usaha dan biaya yang tinggi, mengingat potensi kebocoran yang timbul juga relatif besar.

Solusi yang dapat ditempuh antara lain dengan menerapkan kenaikan tarif royalti progresif berdasarkan kenaikan indeks harga. Tarif royalti progresif yang dimaksud adalah kenaikan tarif royalti saat indeks harga batubara mencapai level tertentu yang dibuat dalam beberapa lapisan (layer). Dengan demikian, godaan praktik-praktik tak terpuji tambang ilegal dapat diminimalkan.

Penerimaan royalti mineral dan batubara sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) komponen yaitu  tarif royalti, volume produksi pertambangan serta harga dari hasil pertambangan tersebut. Jika tarif royalti dinaikan menjadi  tinggi, otomatis penerimaan PNBP akan naik dalam jangka pendek. Kenaikan tarif royalti dapat menaikkan biaya produksi perusahaan. Di sisi lain, instrumen tarif juga dapat dikenakan sebagai bentuk disinsentif untuk para wajib bayar agar mengendalikan kegiatan penambangannya.

Peningkatan penerimaan royalti batubara dapat dilakukan dengan menaikan tarif IUP sampai dengan 13.5%. Tarif sebesar ini selama ini hanya berlaku untuk pelaku usaha batubara jenis PKP2B.  Salah satu cara untuk  meningkatkan penerimaan PNBP adalah dengan menaikan tarif royalti khusus IUP.  Peningkatan penerimaan royalti   dapat melebihi 3  triliun jika tarif royalti dinaikan dari 3% (kalori 5.100), 5% (kalori 5.100-6.100) dan 7% (kalori diatas 6.100) menjadi 7% (kalori 5.100), 9% (kalori 5.100-6.100) dan 13.5 % (kalori diatas 6.100). Kenaikan tarif tersebut dengan asumsi harga diatas USD 80/ton. Kenaikan tarif royalti tersebut tanpa mempertimbangkan kapasitas produksi.

Peningkatan penerimaan royati  khusus mineral harus mempertimbangkan insentif dan disinsentif   untuk para pelaku usaha yang melakukan kegiatan pertambangan dengan  pemurnian dan pengolahan hasil tambang. Royalti yang dikenakan terhadap mineral hasil tambang olahan harus membayar royalti lebih rendah dibanding dengan royalti tanpa melalui kegiatan pemurnian dan pengolahan.

Model pengenaan tarif royalti yang berlaku sekarang ini berdasarkan ad-valorem  (berdasarkan nilai).  Penerimaan royalti diperoleh dengan mengenakan tarif royalti dikalikan dengan harga jual. Model pengenaan royalti ini mencerminkan kemudahan dalam perhitungan, pembayaran dan pengawasan pembayaran PNBP.  Praktik  pengenaan royalti yang digunakan oleh Indonesia sama dengan yang digunakan oleh Rusia dan Mongolia.

Berdasarkan kajian  di atas, berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi terkait dengan kenaikan tarif  royalti, di antaranya dengan: mempertahankan metode tarif royalti mineral dan batubara dengan basis ad-valorem, sistem basis nilai  ini  memudahkan perhitungan, dan pengawasan kepada wajib bayar royalti; Kenaikan tarif royalti batubara menggunakan tarif progresif dengan mempertimbangkan harga  patokan batubara, di mana semakin tinggi kalori dan harga batubara maka royalti yang dibayarkan semakin besar; Kenaikan tarif mineral ditujukan untuk memacu pembangunan smelter (fungsi diinsentif), di mana mineral mentah dikenakan royalti besar sementara mineral hasil olahan dikenakan royalti lebih kecil; mempertahankan sistem  Harga Patokan Batubara serta Harga Patokan Mineral lain sebagai bentuk intervensi pemerintah  terhadap pengendalian harga mineral dan batubara, dengan adanya harga patokan maka pemerintah dapat mengendalikan harga yang sekaligus mengendalikan penerimaan royalti.