Sejarah Badan Kebijakan Fiskal

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) merupakan unit setingkat eselon I di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang memiliki peran strategis sebagai perumus kebijakan fiskal dan sektor keuangan, dengan lingkup tugas meliputi ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, sektor keuangan dan kerja sama internasional.

Cikal bakal berdirinya BKF tidak bisa lepas dari penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN di awal orde baru, yaitu Repelita I tahun anggaran 1969/1970 oleh Staf Pribadi Menteri Keuangan, yang selanjutnya sejak tahun 1975 dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Penelitian, Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Untuk mendukung perkembangan pembangunan yang semakin pesat, pada tahun 1985 dibentuk suatu unit organisasi setingkat eselon II yang khusus menangani penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, yaitu Pusat Penyusunan dan Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PPA-APBN), yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka dirasakan Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN sangat erat kaitannya tidak saja dengan perkembangan keuangan negara, tetapi juga dengan perkreditan dan neraca pembayaran. Karena itu pada tahun 1987 dibentuklah unit setingkat eselon I, yaitu Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP)1. Unit ini melaksanakan tugas dan fungsi yang merupakan penggabungan tugas dan fungsi PPA-APBN dengan sebagian tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri dan Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri.

Tahun 1993, BAKNP&NP lebih dikembangkan dengan menambahkan fungsi penelitian dan pengembangan, dan namanya berubah menjadi Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM)2, yang terdiri dari lima unit eselon II, yaitu Biro Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Biro Analisa Moneter, Biro Analisa Keuangan Daerah, dan Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, serta Sekretariat Badan.

Seiring dengan berjalannya waktu, BAKM mengalami penajaman dan pergeseran fungsi. Pada tahun 2001 berubah nama menjadi Badan Analisa Fiskal (BAF)3. Penataan organisasi ini memisahkan Biro Analisa Keuangan Daerah dan mengembangkan Pusat Analisa APBN, menjadi dua Pusat, yaitu Pusat Analisa Pendapatan Negara dan Pembiayaan Anggaran dan Pusat Analisa Belanja Negara.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi, maka pada tahun 2004 dilakukan penataan organisasi di lingkungan Departemen Keuangan. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI)4dibentuk dengan menggabungkan beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa Fiskal (BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah (Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. BAPEKKI terdiri dari enam unit eselon 2, yaitu Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Puspeku), Pusat Pengkajian Perkajian Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Puspakep), Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Puspekda), Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat Kerjasama Internasional (Puskerin), serta Sekretariat Badan.

Pada tahun 2006 kembali dilakukan penyempurnaan. BAPEKKI berubah menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF)5 dengan tugas utama menjadi unit perumus rekomendasi kebijakan dengan berbasis analisis dan kajian atau lebih dikenal dengan research based policy. BKF memiliki enam unit eselon 2, yaitu Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan. Tahun 2008, BKF melakukan sedikit penyesuaian tugas dan fungsi6 sehingga struktur organisasi di lingkungan BKF menjadi Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional, dan Sekretariat Badan Kebijakan Fiskal.

Selanjutnya di tahun 2009 dilakukan kembali penyesuaian tugas dan fungsi BKF. Perubahan utama adalah memecah Pusat Kerja Sama Internasional menjadi dua unit eselon II dengan pertimbangan beban kerja yang semakin tinggi dan penambahan fungsi terkait kebijakan pembiayaan perubahan iklim7. Pusat Kerja Sama Internasional dipecah menjadi Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral dan Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian yang sangat dinamis, BKF kembali melakukan evaluasi organisasi dengan pertimbangan peningkatan beban kerja dan adanya tambahan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan. Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dihapuskannya Bapepam LK menjadi landasan utama BKF harus melakukan perubahan. Sejak 2015 fungsi perumusan kebijakan sektor keuangan yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam LK diamanatkan untuk dilaksanakan oleh BKF, di bawah Pusat Kebijakan Sektor Keuangan.

Dengan demikian, secara utuh Badan Kebijakan Fiskal pada saat ini terdiri atas tujuh unit eselon 2, yaitu:

  1. Sekretariat Badan (Setban)
  2. Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN)
  3. Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN)
  4. Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM)
  5. Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK)
  6. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM)
  7. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB)
(sesuai Laptah 2017, 2018)

Dalam rangka meningkatkan kualitas rekomendasi kebijakan melalui proses bisnis yang ilmiah dan akuntabel, BKF melakukan transformasi kelembagaan yang perjalanannya dimulai dari tahun 2017 hingga 2019 dengan mengimplementasikan jabatan fungsional analis kebijakan. Hal tersebut juga sejalan dengan visi Presiden RI yang tertuang dalam pidato mengenai perlunya reformasi birokrasi sebagai pelaksanaan reformasi struktural. Arah perubahan tersebut diakukan dengan mengembangkan jabatan fungsional tertentu dan pelaksanaan delayering eselon III & IV, menguatkan fungsi manajerial di unit teknis (fungsi administrasi, manajemen program, & manajemen pengetahuan) dan menguatkan fungsi pendukung serta koordinasi.