Kajian Peningkatan Efektivitas Peranan DAU Dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar Daerah

Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (2018)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi1. Besaran DAU dalam APBN selama periode tahun 2012 – 2017 senantiasa meningkat dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 8,5 persen per tahun. Dalam struktur APBN 2017, besaran DAU mencapai 53,7 persen dari total alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), atau mencapai 19,8 persen dari belanja negara yang setara dengan 3,0 persen PDB.

Proporsi DAU terhadap pendapatan daerah dalam APBD sangat bervariasi. Di banyak daerah DAU menjadi sumber penerimaan utama namun di beberapa daerah lainnya tidak demikian. Data kompilasi APBD tahun 2017 menunjukkan terdapat 336 daerah (62 persen dari 542 daerah) memiliki proporsi penerimaan DAU di atas 50 persen dari total pendapatan daerah. Proporsi penerimaan DAU terendah dalam pendapatan daerah terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yaitu hanya mencapai 3,8 persen dan tertinggi terdapat di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara sebesar 73,4 persen. Sementara itu Provinsi DKI Jakarta tidak mendapat DAU dalam tahun 2017.

Data tersebut mengindikasikan peran DAU yang strategis dalam APBN maupun APBD, oleh karena itu perlu diikuti dengan tata kelola DAU yang baik agar tujuan DAU dalam pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dapat terwujud sekaligus mampu mendorong konvergensi tingkat pelayanan publik dan kesejahteraan antardaerah. Dalam prakteknya, implementasi kebijakan DAU masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain dalam penetapan besaran pagu DAU nasional, penguatan kualitas pemanfaatan DAU, dan kemungkinan penyempurnaan formula distribusi DAU yang lebih adil dan merata dengan tetap meminimalisasi dampak negatifnya.

Dengan memperhatikan kondisi-kondisi tersebut, Kajian Peningkatan Efektivitas Peranan DAU dalam Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah dilakukan dalam rangka memberikan gambaran atas implementasi kebijakan DAU kepada para pengambil kebijakan. Dalam kajian ini dilakukan analisis terhadap penetapan pagu DAU nasional dan implementasi penyaluran DAU, analisis peranan DAU dalam pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, dan analisis pemanfaatan DAU serta korelasinya dengan perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat serta pelayanan dasar publik. Kajian dilakukan dengan pengolahan data primer dan sekunder. Data primer untuk kajian ini diperoleh dari para pejabat pengelola keuangan di 20 daerah sampel2 sementara data sekunder diperoleh dari BPS dan internal Kementerian Keuangan.

Hasil temuan kajian menunjukkan dalam periode 2015-2017 pengalokasian pagu DAU Nasional belum memperhatikan keseimbangan pendanaan APBN. Masih diperhitungkannya penerimaan negara yang tidak berimplikasi kas, yaitu PNBP BLU, Pajak DTP, dan PNBP K/L dalam PDN Neto, menyebabkan pagu DAU dalam APBN bersifat eksesif dibandingkan dengan perkiraan kemampuan keuangan negara mendanai DAU. Implikasinya, dari perkiraan penerimaan noncash dalam APBN 2017 sebesar Rp111,43 triliun, APBN harus mengalokasikan belanja Rp135,21 triliun atau sebesar 121,3 persen dari penerimaan tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab Pemerintah selalu merasakan tekanan terhadap ruang fiskal pemerintah pusat dan semakin lebarnya rencana defisit anggaran dalam APBN.

Penyaluran DAU berdasarkan alokasi dalam APBN/APBNP mengakibatkan ketidakpastian (uncertainty) pada pengelolaan keuangan Pemerintah Pusat. Rencana penerimaan negara yang ditetapkan terlalu optimis dalam APBN telah mengakibatkan pagu DAU dalam APBN tidak sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang sebenarnya. Semakin besar disparitas antara rencana pendapatan negara dalam APBN/APBNP dan realisasi pendapatan negara dalam LKPP mengakibatkan ketidakpastian pengelolaan APBN yang semakin besar. Simulasi perhitungan realisasi APBN 2011-2016 menunjukkan mekanisme pengalokasian DAU bersifat final telah mengakibatkan pengeluaran untuk pendanaan DAU ke daerah yang terlalu besar sebanyak Rp193,0 triliun. Sementara itu, penyaluran DAU berdasarkan angka dalam APBNP justru membawa ketidakpastian pada pengelolaan keuangan APBD tanpa sepenuhnya menghilangkan ketidakpastian yang dirasakan APBN. Simulasi data 2011-2016 menunjukkan selisih antara alokasi DAU dalam APBN-P dan belanja DAU sewajarnya yang dihitung menggunakan angka penerimaan negara dalam LKPP Audited mencapai Rp139,0 triliun.

Dalam periode 2012-2017, DAU relatif mampu memperbaiki ketimpangan kemampuan fiskal horizontal yang diukur berdasarkan Indeks Wiliamson (IW). Trend IW di tingkat provinsi menunjukkan perbaikan ketimpangan kemampuan fiskal horizontal sejak 2014. Sementara di tingkat kab/kota perbaikan ketimpangan terjadi disepanjang periode 2012-2017. Namun demikian, penghitungan IW yang dilakukan Pemerintah dalam mengukur ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah belum menangkap semua jenis penerimaan daerah, seperti DAK nonfisik yang dialokasikan kepada semua daerah untuk mendukung penyediaan layanan dasar. Implikasinya, DAU belum sepenuhnya mampu memperbaiki ketimpangan kemampuan fiskal antardaerah bila dilihat dari indikator total pendapatan daerah dan pendapatan daerah perkapita.

Pemanfaatan DAU di daerah tidak mudah untuk ditelusuri mengingat DAU bersifat block grant. Kematangan pengelolaan keuangan daerah dalam proses penentuan prioritas pembangunan dan eksekusi program menjadi kunci penting dalam meningkatkan Value for DAU. Perkembangan indikator kesejahteraan, pelayanan dasar pendidikan, dan pelayanan dasar kesehatan menunjukkan perbaikan yang terlihat dari peningkatan nilai rata-rata capaian seluruh daerah. Perbaikan indikator yang diikuti pemerataan membaik (konvergensi) terjadi pada indikator IPM dan persentase penduduk miskin, APM SD dan APM SMP, dan akses air minum layak. Perbaikan indikator yang diikuti pemerataan memburuk (divergensi) terjadi pada indikator PDRB perkapita, Rata-rata Lama Sekolah, angka harapan hidup (AHH) dan Akses Sanitasi. Pendekatan analisis korelasi memberikan gambaran bahwa daerah dengan proporsi DAU dalam pendapatan daerah tinggi cenderung mengalami perbaikan IPM, APM SD, AHH, dan penurunan jumlah penduduk miskin lebih tinggi, serta mengalami perbaikan PDRB Per kapita, APM SMP, rata-rata lama sekolah, akses air minum layak, dan akses sanitasi yang lebih rendah.

Berbagai dinamika kebijakan DAU akan berimplikasi terhadap pemanfaatan DAU di daerah. Pemerintah daerah mengharapkan DAU dari Pusat meningkat setiap tahun, jumlahnya tidak berubah dalam tahun anggaran berjalan, dan penggunaannya tidak diarahkan untuk suatu jenis belanja tertentu. Bagi pemerintah daerah, perubahan DAU dalam pertengahan tahun anggaran mengakibatkan ketidakpastian alokasi APBD dan dapat mempengaruhi pencapaian output APBD.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, melalui kajian ini diusulkan beberapa rekomendasi
kebijakan sebagai berikut:

  1. Penghitungan pagu DAU nasional dalam APBN harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dalam mendanai DAU. Oleh karena itu, perhitungan pendapatan dalam negeri neto (PDN neto) perlu direformulasi dengan memasukkan penerimaan negara yang tidak berimplikasi kas (PNBP BLU, Pajak DTP, dan PNBP K/L) sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PDN neto agar basis perhitungan DAU benarbenar mencerminkan kemampuan penerimaan negara yang dapat digunakan untuk mendanai DAU.
  2. Untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengelolaan APBN, DAU hendaknya disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan negara, bukan berdasarkan alokasi dalam APBN atau APBNP. Di sisi lain, untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengelolaan APBD, pagu DAU dalam APBN sebaiknya bersifat tetap dalam satu tahun anggaran. Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut, terdapat tiga alternatif kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu: (1) penghitungan pagu DAU dalam APBN dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan negara dua tahun sebelumnya (t-2); (2) penghitungan pagu DAU dalam APBN tahun t berdasarkan perkiraan pendapatan tahun t, dengan melakukan penyesuaian pada t+2, setelah angka realisasi penerimaan audited tersedia; atau (3) penghitungan pagu DAU dalam APBN tahun t berdasarkan perkiraan pendapatan tahun t, kemudian pagu DAU disesuaikan dengan dinamika PDN Neto dalam APBNP, dan kembali disesuaikan dengan dinamika realisasi PDN neto dalam LKPP Audited pada tahun anggaran berikutnya (t+1).
  3. Pemerintah Pusat perlu terus mendorong daerah untuk meningkatkan kualitas pemanfaatan DAU dalam APBD. Kebijakan mengarahkan sebagian penggunaan DAU untuk infrastruktur dan atau pemenuhan belanja prioritas dapat dilanjutkan dengan penguatan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi terutama dalam hal evaluasi APBD secara berjenjang. Di samping itu, perlu dilakukan penguatan fungsi monitoring dan pengenaan sanksi kepada daerah yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut.

File Terkait:

Baca   Download