Kebijakan Skema Penyediaan Perumahan Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Dan Prajurit TNI/Polri

Penulis: Tim Peneliti PKSK (2019)

Latar Belakang

Dalam beberapa kali Rapat Terbatas, masing-masing tanggal 6 November 2018, 13 November 2018, dan 21 Desember 2018, Presiden memberikan arahan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Kerja bahwa pemerintah perlu menyediakan perumahan yang layak bagi Aparatur Sipi Negara (ASN), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI). Hal ini dirasa perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pada pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla, pemerintah berkomitmen membangun satujutarumahuntuk memenuhi kebutuhan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), termasuk kalangan ASN dan prajurit TNI/Polri yang belum memiliki rumah tinggal. Komitmen ini sejalan dengan tugas pemerintah menjalankan amanah dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang intinya Negara berkewajiban meningkatkan kesejehteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesejahteraan umum yang dimaksud konstitusi adalah penyediaan pangan, sandang, dan papan atau perumahan. Berbagai program penyediaan rumah pun diluncurkan pemerintah, berikut skema pembiayaannya, baik yang melalui perbankan atau yang disebut KPR (Kredit Perumahan Rakyat) maupun bantuan atau subsidi pemerintah melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Komitmen pemerintah untuk penyediaan rumah bagi rakyat ditunjukkan dengan membentuk Departemen atau Kementerian khusus yang menangangi pembanguan perumahan sejak pemerintahan Ir.Soekarno. Kementerian dimaksud diera pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) disebut Kementerian Perumahan Rakyat dan diera pemerintahan Ir.JokoWidodo (Jokowi) disebut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Setelah menjadi Presiden RI pada tahun 2014, Joko Widodo melebur Kementerian Perumahan Rakyat kedalam Kementerian Pekerjaan Umum sehingga menjadi Kementerian PUPR.

Selain membentuk kementerian khusus, pemerintah juga membentuk dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan rumah. Dua BUMN tersebut adalah Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Perum Perumnas yang bergerak dibidang perumahan dan permukiman, didirikan diera pemerintahan Soeharto pada tanggal 18 Juli 1974. BUMN ini telah melaksanakan pembangunan perumahan dan permukiman lebih kurang 400 lokasi di Indonesia dengan total 500.000 unit rumah.

Sementaraitu, BTN mulai beroperasi sebagai lembaga pembiayaan proyek perumahan untuk rakyat melalui Surat Menteri Keuangan RI No. B-49/MK/I/1974. Pada tahun 1976 BTN merealisasikan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang merupakan KPR pertama di Indonesia. Pada tahun 1992, statusnya berubah menjadi PT Bank Tabungan Negara (Persero) karena sukses Bank BTN dalam bisnis perumahan melalui fasilitas KPR. Pada tahun 1994, BTN memperoleh izin untuk beroperasi sebagai Bank Devisa. Delapan tahun berikutnya (2002) berdasar kan kajian konsultan independent , Price Water House Coopers, Pemerintah melalui Menteri BUMN dalam surat No. 5-544/MMBU/2002 memutuskan Bank BTN sebagai Bank umum dengan fokus bisnis pembiayaan perumahan tanpa subsidi.

BTN harus bersaing dengan bank-bank lain, termasuk bank swasta untuk menyalurkan KPR dengan bunga pasar atau bunga bersaing. Dengan praktik ini, KPR hanya bisa diakses oleh masyarakat yang memenuhi kelayakan kredit bank (bankable). Kondisi ini menjadi keterbatasan akses terhadap perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang non-bankable. Untuk mengatasinya, pemerintah harus mengintervensi dengan menyediakan bantuan perumahan atau subsidi yang dananya dari APBN. Namun demikian, pemerintah juga menyediakan subsidi untuk keperluan lain seperti subsidi listrik, subsidi BBM, subsidi pangan, dan subsidi lainnya termasuk bantuan langsung tunai bagi masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan alokasi subsidi di APBN kian besar sehingga meningkatkan risiko APBN menjadi tidak sehat dan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan inovasi fiskal dengan mencari model bantuan lain yang tidak memperbesar nilai subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah. Untuk itu, pemerintah kemudian mendirikan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Bapetarum-PNS.

Badan ini diberi mandat untuk menyediakan rumah layak huni kepada MBR melalui skema tabungan. Setiap bulan pemerintah memotong gaji PNS dan prajurit TNI/Polri untuk tabungan perumahan. Diharapkan pada suatu saat nanti, para PNS (ASN) dapat mengambil tabungannya untuk membeli rumah atau memperbaiki rumah mereka. Dalam perkembangannya, Bapetarum-PNS berganti nama menjadi Badan Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Pemerintah resmi membubarkan Bapertarum  pada tanggal 24 Maret 2018 atau tepat dua tahun sejak Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disahkan. Sebagai gantinya, sesuai UU tersebut, pemerintah membentuk Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Dana iuran Taperum PNS yang terkumpul beserta hasil pengembangannya sejak dibentuk tahun 1993 hingga 2017 sebesar Rp 12,36 triliun. Direktur Utama Bapertarum PNS, Heroe Soelistiawan, menyatakan bahwa pelayanan pengembalian uang tabungan kepada PNS yang pensiun tetap berjalan bekerja sama dengan PT Taspen dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sementara itu, pokok tabungan dan hasil pemupukan yang dikumpulkan oleh para PNS aktif dialihkan sebagai saldo awal tabungan yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Bagi peserta Tapera non-MBR akan tetap dapat menikmati manfaat yaitu saat pensiun mereka mendapatkan kembali tabungan dan hasil pemupukannya. Hadirnya Tapera diharapkan dapat memperluas jangkauan MBR yang bisa menikmati fasilitas pembiayaan perumahan, termasuk para ASN dan prajurit TNI/Polri (Winayanti, 2018). Apapun skema yang akan diipilih pemerintah, harus memiliki kriteria murah dan layak huni.

Yang dimaksud dengan rumah murah adalah harganya terjangkau dengan penhasilan ASN dan prajurit TNI/Polri. Di sisi lain, rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan para penghuninya (Kepmen Kimpraswil No.403/KPTS/M/2002 dan Permenpera Nomor 22//Permen/M/2008). Dari sisi kesehatan, hunian yang dianggap layak haruslah berada di lokasi yang tidak terkena banjir dan tidak lembab serta memenuhi persyaratan pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Selain itu, lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN minimum 450 VA serta tersedia pula penerangan jalan umum dan kehadiran jaringan air bersih dari PDAM. Sementara itu, dari sisi konstruksi, bangunan rumah harus memenuhi persyaratan teknis dan pemilihan material yang tepat.

Walaupun sudah banyak program dan skema penyediaan rumah yang dijalankan pemerintah, fakta menunjukan bahwa masih banyak MBR, termasuk para ASN dan prajurit  TNI/Polri yang belum memiliki rumah layak huni. Data pemerintah menunjukan ada sekitar 945 ribu ASN, 275 ribu PNS prajurit TNI dan 360 ribu anggota Polri yang belum mendapat hunian layak (BPS, 2017). Jumlah tersebut mencapai sekitar 1,3% dari total tenaga kerja di Indonesia sebanyak 121 juta orang atau sekitar 3,29% dari  total  buruh/karyawan/pegawai di Indonesia sebanyak 48 juta orang.

Saat ini, setidaknya ada lima skema pembiayaan perumahan yang dijalankan pemerintah bagi masyarakat, yaitu FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Kredit Perumahan Rakyat (KPR) bank, pembiayaan melalui PT SMF (Sarana Multi Finance) dan KPR bersibsidi bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Wakil Presiden selaku pimpinan program penyediaan rumah bagi ASN dan prajurit TNI/Polri, telah menugaskan beberapa Menteri untuk menyiapkan skema pembiayaan perumahan yang paling tepat bagi ASN dan TNI/Polri. Untuk memilih skema mana yang paling tepat, perlu dilakukan suatu kajian yang mendalam sebagai basis kebijakan.

Rumusan Masalah

Dalam beberapa kali Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan Kementerian Keuangan,  ada beberapa alternatif skema pembiayaan perumahan yang dapat dipilih pemerintah untuk para ASN dan prajurit TNI/Polri. FGD tersebut menyimpulkan dari sekitar 5 skema yang ada saat ini, hanya dua skema pembiayaan rumah yang dinilai paling tepat bagi MBR golongan ASN dan prajurit TNI/Polri. Dua skema tersebut adalah FLPP dan Tapera (program pengganti Bapetarum-PNS).

FLPP merupakan skema KPR akan tetapi difasilitasi dengan bantuan pemerintah (APBN) baik subsidi atau pemberian uang muka. Sementara Tapera merupakan program tabungan semua masyarakat, yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk membantu meringankan beban MBR termasuk ASN dan prajurit TNI/Polri. Namun demikian, hingga saat ini pemerintah belum memastikan skema apa yang paling tepat bagi ASN dan TNI/Polri dengan memperhatikan preferensi ASN dan TNI/Polri serta implikasinya terhadap beban fiskal (APBN).

Adapun masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, dari skema pembiayaan perumahan yang ada saat ini, skema mana yang paling tepat bagi  ASN dan TNI/Polri, dilihat dari preferensi mereka maupun dampaknya terhadap beban fiskal?, dan Kedua, bila kedua skema pembiayaan yang ada saat ini tidak tepat bagi ASN dan TNI/Polri, maka skema apa menjadi alternatif untuk direkomendasikan kepada pemerintah?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, menganalisis skema pembiayaan perumahan yang ada saat ini dan memilih skema pembiayaan perumahan yang paling tepat bagi ASN dan TNI/Polri.  Kedua, merancang skema pembiayaan alternatif untuk direkomendasikan kepada pemerintah, bila skema pembiaan perumahaan yang ada saat ini dinilai tidak ada yang tepat bagi para ASN dan TNI/Polri.

 Kesimpulan

  1. Saat ini terdapat setidaknya lima program penyediaan perumahan di Indonesia, baik dengan skema pembiayaan komersil, untuk masyarakat yang memenuhi ketentuan perbankan (bankable), maupun skema bantuan pemerintah, untuk masyarakat yang non-bankble atau yang dikenal dengan MBR. Lima program tersebut adalah: (i) Fasilitas Lukiditas Penyediaan Perumahan atau FLPP; (ii) Program Penyediaan Rumah Khusus atau PPRK; (iii) Program KPR-Perbankan; (iv) Program Mikro Perumahan (PMP); dan (v) Program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
  2. Meski sudah terdapat banyak program dan skema penyediaan rumah yang dijalankan pemerintah, masih banyak MBR maupun ASN dan prajurit TNI/ POLRI yang belum memiliki rumah layak huni. Indikasi awal menunjukkan adanya kebutuhan (demand) perumahan yang tinggi namun tidak diiringi dengan kemampuan keuangan yang memadai dari MBR, ASN, dan prajurit TNI/POLRI yang pada akhirnya memicu rendahnya pasokan perumahan (supply side).
  3. Skema FLPP dan skema Tapera merupakan skema yang ditujukan kepada MBR dengan biaya yang lebih ringan dan fleksibel dibandingkan program-program lainnya. Para ASN dan prajurit TNI/POLRI yang memenuhi kriteria dapat memanfaatkannya. Pada skema FLPP, kriteria MBR adalah mereka yang berpenghasilan paling tinggi Rp4 juta/bulan untuk pengadaan rumah tapak dan paling tinggi Rp7 juta/bulan untuk pengadaan rumah susun.
  4. Ketentuan MBR tersebut membuat hanya sedikit ASN dan prajurit TNI/POLRI yang memenuhi kriteria. Namun demikian, mereka belum juga mampu untuk membayar biaya dengan skema KPR komersil.
  5. Survey yang dilakukan peneliti mengkonfirmasi sebagian besar responden tidak terlalu peduli dengan alternatif skema pembiayaan. Mereka lebih peduli pada aspek harga dan lokasi rumah. Apabila program perumahan dibantu pembiayaannya oleh pemerintah, sebagian besar responden lebih menyukai pemerintah menetapkan harga rumah yang yang sesuai dengan kemampuan penghasilan mereka dan harga rumah disesuaikan dengan jabatan dan masa kerja. Selain itu, penyediaan rumah juga harus mempertimbangkan kemudahan akses ASN dan prajurit TNI/POLRI ke lokasi kantor atau tempat kerja maupun lokasi-lokasi pelayanan publik.
  6. Simulasi financial model menunjukkan bahwa beban bunga di atas suku bunga FLPP dan di bawah suku bunga KPR komersil masih dapat dijangkau oleh para ASN dan prajurit TNI/POLRI dengan penghasilan di atas Rp7 juta/bulan. Beban bunga yang secara bertahap meningkat dari 7% pada beberapa tahun pertama sampai dengan 13% (asumsi bunga pasar) pada beberapa tahun terakhir memberikan biaya cicilan yang ditanggung ASN dan prajurit TNI/POLRI sebesar Rp2,7 juta s.d 3,6 juta.
  7. Dengan simulasi yang sama, bantuan yang harus diberikan Pemerintah, selaku Pemberi Kerja, berkisar Rp0,4 juta sampai dengan Rp0,9 juta tiap bulan. Pada beberapa skenario, Pemerintah tidak lagi mensubsidi ketika beban bunga yang ditanggung ASN dan prajurit TNI/POLRI sama dengan bunga pasar. Rentang tingkat suku bunga yang dibebankan pada ASN dan prajurit TNI/POLRI tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan beban APBN atau mengamankan ruang fiskal (fiscal space) dalam jangka panjang.

 

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut

  1. Sebagian besar ASN dan prajurit TNI/ POLRI memiliki take home pay di atas Rp4 juta/bulan sehingga tidak memenuhi batasan yang ditetapkan regulasi, baik pada skema FLPP maupun Tapera. Guna mempercepat kepemilikan rumah layak huni pada ASN dan prajurit TNI/POLRI, Pemerintah perlu menyediakan alternatif lain.
  2. Pemerintah dapat mendorong para ASN dan prajurit TNI/ POLRI memanfaatkan KPR-bank, tetapi dengan tingkat suku bunga yang terjangkau, di antara suku bunga FLPP dan suku bunga komersil. Simulasi financial model merekomendasikan tingkat suku bunga yang dibebankan ke ASN dan prajurit TNI/POLRI sebesar 7% dan secara gradual meningkat sampai sama dengan suku bunga pasar pada beberapa tahun akhir masa pinjaman. Dengan demikian, pemerintah hanya memberikan subsidi suku bunga pada masa dimana ASN dan prajurit TNI/POLRI relatif belum bankable, sebesar selisih antara suku bunga pasar dan suku bunga yang ditetapkan pada skema baru.
  3. Skema selisih suku bunga memerlukan dana perbankan yang relatif besar. Dalam hal perbankan memiliki keterbatasan, Pemerintah dapat mengombinasikan dengan sebagian pendanaan dari Pemerintah dan/atau lembaga keuangan lain.
  4. Apapun skema penyediaan perumahan dan pembiayaannya yang dipilih Pemerintah, hendaknya memperhatikan preferensi calon nasabah. Faktor harga rumah dan lokasi rumah yang dekat dengan kantor dan pusat pelayanan publik seperti transportasi dan sentra perdagangan publik, sangat dianjurkan oleh para ASN dan prajurit TNI/POLRI. Semakin mudah atau dekat dengan lokasi rumah, harga rumah lebih mahal, demikian juga sebaliknya. Para ASN dan prajurit TNI/POLRI menghendaki semakin tinggi jabatan dan masa kerja serorang ASN dan prajurit TNI/POLRI, harga rumahnya yang ditawarkan kepadanya harus semakin mahal agar ada keadilan dalam fasilitas pemerintah..