Kajian Dampak COVID-19 Terhadap Pasar Tenaga Kerja dan Respons Kebijakan di Kawasan Asia dan Pasifik

Penulis: (2021)

Ringkasan Eksekutif

Penyebaran pandemi COVID-19 telah memaksa pemerintah di negara-negara kawasan Asia dan Pasifik untuk melakukan kebijakan penguncian wilayah dan pembatasan sosial secara besar-besaran. Sebagai konsekuensi, kebijakan tersebut menyebabkan aktivitas ekonomi dan sosial menjadi terganggu yang pada akhirnya ditrasmisikan kepada gangguan terhadap perekonomian secara keseluruhan termasuk gangguan di pasar tenaga kerja dan penurunan tingkat pendapatan pekerja di seluruh wilayah.

Gangguan terhadap aktivitas ekonomi karena kebijakan penguncian wilayah untuk menahan penyebaran virus telah menyebabkan banyak perusahaan menutup usaha dan mengalami kebangkrutan yang berdampak pada pengurangan jumlah pekerja maupun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran terutama pada sektor-sektor yang paling terdampak pandemi. Sepanjang tahun 2020, jumlah pekerja di negara-negara kawasan Asia dan Pasifik mengalami penurunan. Secara agregat total pekerja di kawasan Asia dan Pasifik pada tahun 2020 sebesar 1,8 miliar orang. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 3,2 persen (yoy) dibandingkan tahun 2019 atau mengalami penurunan jumlah pekerja sebanyak 61,8 juta pekerja. India merupakan negara yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja terbesar sebanyak 30,4 juta pekerja pada tahun 2020.

Pandemi COVID-19 juga memberikan dampak pada meningkatnya tingkat pengangguran di kawasan. Kontribusi peningkatan pengangguran terbesar di kawasan Asia dan Pasifik terutama berasal dari kelompok pekerja informal yang terdiri dari jutaan pekerja berketerampilan rendah dengan upah rendah. Wilayah Asia dan Pasifik merupakan rumah bagi 1,3 miliar dari 2 miliar pekerja informal dunia. Sepanjang tahun 2020, tingkat pengangguran di kawasan meningkat menjadi sebesar 5,2 persen, naik 18 persen dibandingkan tahun 2019 dengan jumlah pengangguran mencapai 101,1 juta jiwa. Tingkat pengangguran terbesar terjadi di Amerika Serikat mencapai sebesar 8,3 persen pada 2020. Kebijakan penguncian wilayah dan penutupan sektor usaha menjadi penyebab utama kenaikan tingkat pengangguran yang cukup tinggi di AS, selain kebijakan pemberian tunjangan pengangguran oleh pemerintah AS.

Kebijakan penguncian wilayah dan pembatasan sosial yang diikuti dengan ketentuan pengurangan jam operasional usaha menyebabkan terjadinya hilangnya jam kerja karyawan maupun jumlah pekerjaan. Sepanjang tahun 2020, ILO mengestimasikan sebanyak 7,9 persen jam kerja hilang di Asia dan Pasifik, setara dengan 140 juta pekerjaan setara penuh waktu (berdasarkan 48 jam kerja seminggu). Karakteristik pasar tenaga kerja di masing-masing negara mempengaruhi seberapa besar jumlah kerugian kehilangan jam kerja maupun kehilangan jumlah pekerjaan selama pandemi. Kerugian kehilangan jam kerja dan jumlah pekerjaan terbesar terjadi di India, terutama dikontribusikan oleh jenis pekerjaan lintas sektor dan pekerjaan dengan keterampilan khusus, termasuk jasa, manufaktur dan industri, serta pekerjaan kantoran.

Berdasarkan jenis pekerjaan, sektor non-pertanian mengalami kehilangan pekerja paling besar sepanjang tahun 2020. AS merupakan negara yang mengalami kehilangan paling banyak pekerja baik di sektor non-pertanian maupun sektor jasa. Sementara di sektor industri meskipun pandemi menyebabkan kehilangan jumlah pekerja, tetapi sektor tersebut masih menjadi penopang ekonomi di sebagian besar negara. Kehilangan pekerja di sektor industri relatif lebih kecil dibandingkan sektor-sektor lainnya. Dari sisi pertumbuhan jumlah perkerja, dampak COVID-19 relatif kecil terjadi di sektor pertanian yang masih tumbuh positif, sementara sektor lainnya (non-pertanian, industri, dan jasa) mengalami kontraksi. Korea Selatan berkontribusi terhadap pertumbuhan positif jumlah pekerja di sektor pertanian sepanjang tahun 2020. Sementara di Australia, meskipun sempat terkontraksi pada Q1-2020 tetapi sepanjang tiga kuartal terakhir tahun 2020 mengalami pertumbuhan jumlah pekerja yang positif.

Negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik telah melakukan berbagai upaya untuk memitigasi dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap perekonomian maupun pasar tenaga kerja. Negara-negara maju di kawasan dengan kapasitas fiskal yang besar mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk tanggapan kebijakan terhadap pandemi COVID-19. Di antara 12 negara yang dianalisis, paket kebijakan fiskal terbesar dikeluarkan oleh pemerintah AS. Sementara pengeluaran terkecil untuk pembiayaan paket stimulus COVID-19 dikeluarkan oleh Viet Nam. Di ekonomi berpenghasilan tinggi seperti Australia, AS, Singapura, dan Jepang alokasi stimulus fiskal melebihi dari 25 persen dari total PDB. Jepang merupakan negara dengan total share bantuan stimulus tertinggi mencapai 68,8 persen dari PDB. Sebaliknya, untuk negara berkembang seperti Philipina dan Viet Nam, alokasi paket stimulus COVID-19 kurang dari 15 persen PDB untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Kebijakan tenaga kerja selama pandemi COVID-19 di negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik difokuskan pada dukungan terhadap sektor usaha/pemberi kerja, pekerja, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Langkah-langkah tersebut juga termasuk dukungan keuangan yang diberikan oleh beberapa lembaga maupun otoritas guna mendukung sektor usaha, rumah tangga, dan pekerja yang terdampak pandemi, serta tindakan-tindakan yang dilakukan otoritas untuk membantu para pekerja yang kehilangan pekerjaannya dalam memulai bisnis, memberikan dukungan pelatihan bagi para pencari kerja, mapun menyediakan pekerjaan darurat.

Hampir di semua negara di kawasan Asia dan Pasifik yang dianalisis, baik sektor swasta maupun publik mengalami migrasi sistem kerja yang meluas dari kantor ke rumah untuk mengurangi potensi penyebaran virus. Untuk memastikan keselamatan pekerja, pemerintah negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik telah menyusun panduan bagi pelaksanaan kerja selama pandemi untuk melindungi pekerja, termasuk program dan kebijakan mengenai standar keselamatan dan kesehatan kerja, kompensasi dan tunjangan pekerja, jam kerja, serta permasalahan pekerja lainnya yang muncul karena situasi pandemi.

Kerja sama dan pelibatan para pemangku kepentingan di perlukan agar langkah-langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi pekerja dapat berjalan optimal. Dialog sosial antara otoritas dengan para pemangku kepentingan memberikan peran yang cukup besar dalam dalam menghasilkan solusi kebijakan di negara-negara kawasan Asia dan Pasifik. Inisiatif pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari mitra sosial dan pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam perumusan dan penyesuaian program perbaikan sosial dan bantuan keuangan untuk mendukung perusahaan maupun pekerja yang terdampak pandemi.

Bagi Indonesia, Pemerintah telah melakukan langkah yang tepat dalam memitigasi dampak pandemi terhadap sektor tenaga kerja. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberian paket stimulus ekonomi untuk dunia usaha, insentif pajak penghasilan bagi pekerja, jaring pengaman sosial melalui program bantuan sosial bagi pekerja formal dan informal, program Kartu Prakerja, perluasan program industri padat karya, dan perlindungan bagi para Pekerja Migran Indonesia. Pemerintah juga melakukan reformasi di sektor ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja dengan mempermudah masuknya investasi, tetapi juga memberikan kepastian perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi para pekerja. Pemerintah juga memfokuskan pengembangan kualitas sumber manusia manusia sebagai salah prioritas sektor tenaga kerja.