Analisis Regulasi Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia

Penulis: Yani Farida Aryani, Bahtiar Fitkhasya Muslim, Nurul Fatimah (2021)

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat. Selain itu, LKM juga melakukan pengelolaan simpanan, serta pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha untuk membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat. Upaya ini dilakukan agar LKM dapat membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.

Terdapat sejumlah LKM di Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun baru sebagian kecil LKM yang terdaftar dan memperoleh ijin dari OJK yaitu sebanyak 277 LKM. LKM yang terdaftar tersebut menunjukkan kinerja yang cukup baik dilihat dari beberapa indikator yaitu aset, jumlah nasabah, jumlah pinjaman, dan jumlah simpanan. Dilihat dari bentuk badan hukumnya, LKM dengan bentuk badan hukum PT memiliki kinerja yang lebih baik dengan rata-rata aset, rata-rata jumlah pinjaman, dan rata-rata jumlah simpanan lebih besar dibandingkan LKM Koperasi. Sementara itu, LKM Koperasi memiliki pertumbuhan yang lebih baik dilihat dari indikator-indikator tersebut selama periode pengamatan 2016-2020. Keberadaan LKM menjadi jembatan untuk mengurangi gap layanan keuangan perbankan karena LKM memberikan layanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro.

Untuk memberikan dasar hukum atas keberadaan dan aktivitas dari LKM, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. UU Nomor 1 Tahun 2013 berisi antara lain mengenai definisi, asas, dan tujuan LKM, serta dilengkapi dengan pengaturan-pengaturan yang lebih teknis seperti pendirian, kepemilikan, dan perizinan, kegiatan usaha dan cakupan wilayah, penggabungan, peleburan, dan pembubaran, perlindungan pengguna jasa LKM, serta pembinaan, pengaturan, dan pengawasan. Dengan adanya landasan hukum yang jelas, diharapkan para pelaku LKM dapat lebih tenang dan leluasa dalam mengembangkan usahanya, lebih mudah dalam melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti perbankan, dan lebih mudah dalam menarik investor. Namun, dalam pelaksanaannya LKM dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah seperti persoalan perizinan, kepemilikan, pengawasan, penilaian kesehatan keuangan, dan yang lainnya. Hal-hal tersebut dirasa mempengaruhi kinerja LKM dalam memberikan manfaat bagi masyarakat.

Studi ini menemukan bahwa ketentuan mengenai batasan kepemilikan sulit untuk dipenuhi karena belum sinkronnya pengaturan yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 2013 dengan peraturan Pemerintah daerah (Perda), sehingga LKM berbadan hukum PT kesulitan dalam mendapatkan modal / kepemilikan saham dari pemerintah daerah kabupaten/kota maupun badan usaha milik desa/kelurahan. Hingga saat ini juga masih banyak LKM yang beroperasi tanpa izin usaha dari OJK karena ketidakmampuan LKM untuk memenuhi berbagai persyaratan perizinan, ketidakmauan para pengelola LKM tersebut terikat dengan regulasi LKM yang akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, dan belum adanya upaya serius untuk membatasi aktivitas usaha dari LKM yang tidak berizin.

Selain itu, masih terdapat perbedaan persepsi antara OJK dengan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah kabupaten/kota terkait dengan delegasi pembinaan dan pengawasan LKM. LKM juga mengalami kesulitan untuk memenuhi ketentuan permodalan yang baru, terutama untuk LKM yang murni didirikan oleh masyarakat, yang tidak melaksanakan program pemerintah maupun program Bank Wakaf Mikro. Hal lain yang ditemukan melalui kajian ini adalah banyak LKM yang didirikan untuk melaksanakan program pemerintah dan tidak melakukan penghimpunan simpanan. Bagi jenis LKM ini, penilaian kesehatan keuangan melalui perhitungan rasio likuiditas dan solvabilitas menjadi kurang tepat. Namun demikian, penilaian kesehatan masih tetap diperlukan dan dianggap penting karena tanpa adanya penilaian kesehatan keuangan maka tindakan yang dilakukan oleh pengawas hanya sebatas pembinaan dan tidak dapat masuk dalam upaya enforcement yang lebih tegas.

Beberapa usulan muncul sebagai respon dari adanya kendala dalam implementasi regulasi LKM diantaranya adalah membentuk LKM Inkubator yang akan menjadi jembatan bagi LKM yang saat ini belum memiliki izin supaya tetap dapat beroperasi selama jangka waktu tertentu. Selain itu, terdapat rekomendasi untuk meniadakan delegasi dan mengembalikan sepenuhnya kewenangan pembinaan dan pengawasan LKM kepada OJK. Hal ini karena OJK merupakan satu-satunya pihak yang memiliki tugas dan juga kemampuan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan LKM. Terkait kesehatan keuangan, perlu ditetapkan rasio yang sama dengan rasio likuditas dan rasio solvabilitas untuk dapat mengakomodasi kondisi keuangan LKM yang tidak menghimpun simpanan. Untuk itu diusulkan untuk menambahkan indikator kesulitan keuangan LKM, serta memberikan amanat kepada OJK untuk menyusun peraturan turunan mengenai tindakan yang dilakukan OJK kepada LKM yang mengalami kesulitan keuangan.

Dengan peningkatan performanya, LKM diharapkan dapat membantu perekonomian rakyat menjadi lebih tangguh, berdaya, dan mandiri yang berdampak kepada peningkatan perekonomian nasional. LKM juga dapat mengisi kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan atas layanan jasa keuangan mikro yang memfasilitasi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Melalui keberadaan LKM, masyarakat dapat meningkatkan literasi keuangannya dan lebih siap untuk mengakses pembiayaan perbankan guna memperbesar modal kerja bagi pengembangan usaha. Hal tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia