Peta Jalan Kebijakan Perpajakan

Penulis: LPEM UI, Sidiq Suryo Nugroho, Futu Faturay, Sofia Arie Damayanty, Agung Kurniawan Purnomo Putro, Soni Rita Br Purba, Ditto Hadi Pratama, dan GIZ Team (2023)

 Dengan dicanangkannya Visi Indonesia Emas 2045 oleh Presiden pada tahun 2019 yang memproyeksikan Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045, menjadikan visi tersebut sebagai acuan bagi Pemerintah dalam menyusun arah dan tujuan pembangunan nasional ke depannya. Berbagai prasyarat diperlukan bagi Indonesia untuk menjadi negara maju diantaranya seperti infrastruktur yang memadai, SDM yang berkualitas tinggi, adopsi teknologi tinggi, pembangunan daerah yang baik, dan kebijakan ekonomi yang baik. Berbagai prasyarat tersebut membutuhkan penyediaan barang publik yang esensial untuk mendukungnya. Peran APBN menjadi sangat krusial sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal untuk mencapai visi Indonesia Maju tersebut melalui berbagai alokasi anggaran belanja negara. Dukungan penerimaan perpajakan yang kuat dan berkelanjutan sebagai sumber utama pendanaan dalam APBN menjadi kunci suksesnya pencapaian visi tersebut. Berbagai tantangan untuk mencapai target penerimaan perpajakan ke depannya membutuhkan suatu kebijakan dan sistem perpajakan yang mampu menjawab tantangan perubahan serta ketidakpastian yang mungkin terjadi, sekaligus memenuhi ekspektasi berbagai pihak untuk menuju Indonesia Maju 2045. 

Menilik kondisi sistem perpajakan Indonesia dewasa ini, beberapa pendapat menilai bahwa sistem perpajakan di Indonesia saat masih belum sepenuhnya efektif maupun berkeadilan. Tax ratio Indonesia yang masih belum mampu sejajar dengan peer countries, terlihat dari berbagai tantangan yang masih harus dihadapi perpajakan Indonesia. Beberapa tantangan tersebut seperti masih rendahnya tax buoyancy, masih besarnya gap penerimaan, kepatuhan yang masih belum mencapai tingkat yang diharapkan, besarnya belanja perpajakan yang masih perlu dievaluasi efektivitasnya, serta permasalahan tingginya informalitas dan underground economy yang belum mampu ditangkap sepenuhnya oleh sistem perpajakan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak ruang bagi perbaikan sistem dan kebijakan perpajakan ke depannya. 

Selain menghadapi tantangan struktural, perpajakan Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Krisis kesehatan berupa pandemi Covid-19 yang melanda dunia dimulai pada akhir 2019 hingga sepanjang tahun 2020 dan 2021, yang kemudian berubah menjadi krisis ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perpajakan. Faktor tersebut menjadikan tantangan fiskal yang harus dihadapi pelaku usaha maupun Pemerintah di setiap negara menjadi semakin besar. Pandemi telah menekan aktivitas ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi dunia. Dampaknya di Indonesia dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi dan penerimaan perpajakan yang tumbuh negatif di tahun 2020. Pada tahun 2021, melalui berbagai kebijakan Pemerintah mendorong upaya pemulihan ekonomi dan mampu meningkatkan pertumbuhan penerimaan perpajakan. Namun, kondisi ekonomi global yang belum pulih secara menyeluruh akibat pandemi, kembali tertekan dengan meningkatnya tensi geopolitik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang juga menyeret beberapa negara, berimplikasi terhadap stabilitas perekonomian global dan dan berdampak bagi kondisi fiskal dan perpajakan di Indonesia. 

Momentum pemulihan ekonomi yang mulai terjadi sejak tahun 2021 dimanfaatkan oleh banyak negara untuk melakukan berbagai reformasi fiskal. Di Indonesia momentum tersebut ditandai dengan dilakukannya reformasi perpajakan melalui penerbitan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) di tahun 2021 dan disusul dengan penerbitan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) di tahun berikutnya. Reformasi kebijakan perpajakan tersebut juga merupakan kelanjutan dari upaya reformasi yang telah dilakukan sejak dua dekade lalu yang juga dilakukan untuk keluar dari kondisi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008. Tak dapat dipungkiri bahwa ketika terjadi krisis maka diperlukan reformasi fiskal, khususnya perpajakan sebagai upaya untuk menghadapi krisis yang terjadi. Reformasi perpajakan yang telah dilakukan membawa dampak besar bagi perbaikan sistem perpajakan di Indonesia serta meningkatkan penerimaan perpajakan yang cukup signifikan dari sebelum dilakukannya reformasi. Namun, reformasi perpajakan tidak bisa hanya berhenti sampai di situ, terutama dalam menghadapi tantangan yang semakin besar menuju tahun Indonesia Emas 2045, perlu untuk terus dilakukan perbaikan melalui berbagai kebijakan perpajakan dalam bingkai reformasi perpajakan. 

Reformasi perpajakan utamanya ditujukan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang sehat, kuat, dan berketahanan, meningkatkan kapasitas penerimaan perpajakan yang mendukung peningkatan tax ratio pada level yang ideal, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mendorong reformasi administrasi perpajakan untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran perpajakan masyarakat guna mendukung visi Indonesia emas pada tahun 2045. Untuk mewujudkannya, diperlukan adanya strategi reformasi secara bertahap yang dilakukan melalui kebijakan perpajakan dalam timeframe kebijakan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Strategi dan kebijakan tersebut perlu disusun secara seksama guna mengantisipasi perubahan kondisi perekonomian, sosial, demografi, dan lingkungan ke depannya yang berdampak bagi penerimaan perpajakan, menuju Indonesia Maju 2045. 

Kajian ini mencoba memberikan gambaran secara garis besar mengenai apa saja yang perlu dilakukan di masa yang akan datang guna mencapai tujuan reformasi perpajakan tersebut. Gambaran besar tersebut didesain dan disajikan dalam bentuk Peta Jalan Kebijakan Perpajakan Menuju Indonesia Maju 2045. Peta jalan atau road map ini pada intinya bertujuan sebagai pedoman dalam melaksanakan proses reformasi perpajakan pada masa yang akan datang, sehingga tahapan-tahapan reformasi yang akan dijalankan dapat lebih mudah dipetakan serta mampu memberikan informasi yang lebih terarah bagi proses reformasi itu sendiri maupun bagi para pengambil kebijakan. Peta jalan ini juga bersifat cukup dinamis dan mengikuti perkembangan di bidang perpajakan baik pada tingkat lokal maupun internasional, serta dengan memperhatikan faktor eksternal seperti kondisi perekonomian yang dimungkinkan mengalami perubahan. Karena itu, perubahan dan penyesuaian terhadap peta jalan kebijakan ini sangat mungkin dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang terjadi pada masa mendatang. 

Peta jalan kebijakan perpajakan yang akan dilakukan disusun pada empat pilar atau area reformasi yaitu pilar reformasi kebijakan, administrasi, kelembagaan, dan pemantauan dan evaluasi. Selain itu, jangka waktu pelaksanaan reformasi secara umum dibagi menjadi tiga periode yakni jangka pendek dengan rentang waktu dari tahun 2022-2024, jangka menengah yang terdiri dari dua fase yaitu fase pertama tahun 2025-2029 dan fase kedua tahun 2030-2034, serta jangka panjang yakni mulai tahun 2035-3045. Peta jalan kebijakan perpajakan dalam kajian ini disusun dan didesain melalui beberapa tahapan dan analisis yaitu: 

  1. tahap kajian pendahuluan, untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam sistem perpajakan secara umum melalui FGD dengan para stakeholders terkait serta menentukan pilihan prioritas kebijakan yang akan diambil menggunakan alat analisis AHP, melakukan desk study terhadap praktik baik (bestpractise) perpajakan internasional yang dilaksanakan di berbagai negara,
  2. tahap estimasi potensi perpajakan dan indikator-indikator kerentanan, keberlanjutan, dan solvabilitas fiskal di masa yang akan datang menggunakan teknik ekonometrika guna menyusun model Makro-Fiskal untuk mengetahui dampak variabel ekonomi yang digunakan dalam model terhadap kesehatan fiskal,
  3. tahap analisis potensi perpajakan melalui evaluasi dampak kebijakan belanja perpajakan menggunakan model Input Output (IO), dimana hal ini untuk mendapatkan gambaran besaran dampak ekonomi dan fiskal di masa mendatang berdasarkan stimulus perpajakan yang diberikan, dan
  4. tahap analisis survey terkait UU HPP dan UU HKPD yang baru saja berlaku saat ini, menerima masukan dari FGD dengan para pemangku kepentingan, dan wawancara mendalam dengan praktisi/ahli perpajakan terkait isu perpajakan yang harus dicermati saat ini maupun di masa yang akan datang, serta menerima masukanmasukan dari akademisi di bidang perpajakan. 

Berdasarkan tahapan dan analisis dalam kajian tersebut, disusun peta jalan kebijakan perpajakan berdasarkan area reformasi yang akan dilakukan, dimana pada setiap area reformasi tersebut terdiri dari beberapa strategi dan rencana aksi yang berisi daftar kebijakan perpajakan yang akan dilakukan sesuai jangka waktu yang ditentukan. Di dalam setiap rencana aksi dilakukan pemetaan terhadap pihak-pihak yang terkait yang akan terlibat dalam pelaksanaan refomasi perpajakan, estimasi lama waktu pelaksanaannya, serta sumber daya yang tersedia maupun sumber daya yang akan dibutuhkan. Kajian ini juga mempunyai beberapa keterbatasan terkait dengan tantangan yang dihadapi didalam menyusun proyeksi, prediksi, maupun rencana dalam timeframe pelaksanaan kebijakan, karena kondisi yang sangat dinamis ke depannya berdasarkan banyak faktor dan kondisi yang dipertimbangkan. Namun, karena faktor dinamis tersebut peta jalan strategi dan rencana aksi kebijakan perpajakan ini menjadi penting dan diperlukan untuk menjadi guideline dalam mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi. Dengan adanya peta jalan kebijakan perpajakan ini diharapkan reformasi kebijakan perpajakan akan secara kontinyu dapat dilaksanakan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kondisi sosial serta lingkungan, sehingga sistem perpajakan selain mampu menyesuaikan dengan kebutuhan fiskal di dalam negeri, dapat juga selaras dengan perpajakan internasional, serta mampu mengikuti perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi dan kemajuan teknologi yang cepat. 

File Terkait:

Baca   Download