Ciptakan Sejarah Baru, Pemerintah Luncurkan Skema Inovatif Dana Bersama Bencana

SP – 23 /BKF/2021 


Jakarta, 23 Agustus 2021
– Selangkah lebih dekat menuju masyarakat tangguh menghadapi
bencana (disaster preparedness), Pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana
bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75
Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021) pada 13
Agustus 2021. PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk
memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam
secara efektif. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu
mengatakan, “PFB ini merupakan milestone penting dalam manajemen risiko bencana di
Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan
mitigasi bencana dan transfer risiko. PFB ini khas Indonesia dengan model gotong royong
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan swasta. Tidak banyak negara yang
memiliki institusi PFB dan melakukan ini dengan baik.”

Menambah Kapasitas Dana Bencana
Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana sehingga perlu memiliki sistem
penanggulangan bencana yang baik. Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di
peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Hampir
seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam, antara lain
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim,
gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Saat ini Indonesia bahkan menghadapi bencana
non-alam akibat pandemi COVID-19. Dampak dari berbagai bencana tersebut sangat signifikan
dan multidimensi.

Proses penanganan bencana di Indonesia salah satunya mengalami kendala anggaran.
Akibat berbagai jenis dan skala bencana, khususnya bencana alam, dari hasil kajian
Kementerian Keuangan (2020) rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia
dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun. Sebagai contoh, bencana alam
besar seperti gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada September 2018,
mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi sekitar Rp18,5 triliun. Namun, Dana
Cadangan Bencana di dalam APBN untuk mendanai kegiatan tanggap darurat dan hibah
rehabilitasi dan rekonstruksi kepada Pemerintah Daerah masih berada di bawah nilai kerusakan
dan kerugian tersebut, yaitu sekitar Rp5-10 triliun per tahun sejak 2004.

“PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan
mempercepat proses penanganan bencana. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal
sebesar kurang lebih Rp7,3 triliun. Dengan demikian, PFB akan menambah kapasitas
pendanaan bencana pemerintah dari semula hanya terdiri dari dua sumber utama yaitu APBN
dan APBD”, tutur Febrio. Dana kelolaan ini diharapkan akan terus berkembang dari tahun ke
tahun, melalui kegiatan pengumpulan maupun pengembangan dana.

PFB merupakan bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau
Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI). Strategi DRFI memungkinkan Pemerintah untuk
mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan
risikonya kepada pihak ketiga, melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat. PFB 
adalah instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang merupakan skema pengumpulan
dana dari berbagai sumber, yakni dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta,
masyarakat dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi
pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.

Pengelolaan Efisien dan Produktif
PFB yang dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU)
Kementerian Keuangan juga merupakan milestones tersendiri. “Bentuk BLU ini adalah ciri khas
Indonesia dengan model quasi government dan berbeda dengan pengelolaan PFB negara lain’,
ujar Febrio. Dengan menggunakan prinsip kerja BLU yang berasaskan praktik bisnis yang sehat
termasuk memiliki rencana bisnis anggaran dan standar pelayanan minimal, PFB tidak hanya
bisa memobilisasi dana dari berbagai sumber seperti alokasi APBN; hibah Pemerintah Daerah,
mitra pembangunan, swasta dan masyarakat; trust fund; dan filantrofi, tetapi juga melakukan
investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun tersebut untuk meningkatkan kesiapan
pemerintah, baik pada tahap prabencana, darurat bencana, maupun pascabencana, termasuk
transfer risiko. Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh satker pemerintah biasa ”, ujar Febrio.

Dengan karakteristik bisnis tanpa mengutamakan keuntungan, PFB juga diharapkan
dapat mempercepat pemulihan dan membangun kembali dengan lebih baik dengan fokus
melindungi masyarakat paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan. “BLU pengelola
PFB diantaranya dapat memberikan fasilitas pendanaan bergulir yang sangat murah untuk
UMKM terdampak bencana, selain memberikan bantuan tunai”, tambah Febrio

Transfer Risiko Bencana
PFB juga meningkatkan kapasitas pendanaan untuk kegiatan transfer risiko dalam
rangka mengurangi kerugian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat bencana,
yang semula didanai oleh APBN dan APBD saja. Hal ini terkait dengan peran PFB yang
memfasilitasi pembelian premi asuransi perlindungan aset pemerintah pusat dan daerah serta
masyarakat, dengan memanfaatkan hasil pengelolaan dana (investment proceeds).

“Dalam 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh
gedung/bangunan milik Kementerian/Lembaga dan bergotong royong untuk co-financing
dengan Pemerintah Daerah untuk pengasuransian aset daerah. Sehingga, nilai kerusakan
akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan”, tambah Febrio.

Perencanaan Nasional Melibatkan Kementerian dan Lembaga
Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat akan bersinergi dalam
operasionalisasi PFB, mulai dari pengusulan pendanaan sampai dengan penyaluran dana PFB
agar lebih tepat waktu dan sasaran. “PFB akan dikelola secara kredibel untuk mendapatkan
kepercayaan masyarakat Indonesia dan internasional. Dengan meningkatnya kepercayaan ini,
PFB tidak hanya akan menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana,
melainkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya. BKF
akan terus mengawal guna memastikan terwujudnya hal tersebut,” tutup Febrio. 

Narahubung Media:

Endang Larasati
Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik
Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan
ikp.bkf@kemenkeu.go.id

Baca