Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal

SP – 30 /BKF/2021 


Jakarta, 11 Oktober 2021
– Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 7 Oktober 2021 telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang telah digulirkan sejak tahun 1980-an. ”UU HPP mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensialnya dengan perbaikan administrasi maupun kebijakan sehingga perpajakan nasional semakin siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi ke depan. Ini tongkat estafet yang penting dari berbagai reformasi yang telah dilakukan sebelumnya”, ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.

Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan (loop holes) yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini. Hal ini berkaitan dengan maraknya bisnis yang berbasis digital mengikuti pesatnya kemajuan teknologi informasi. Sedangkan dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi nasional.

UU HPP mencerminkan besarnya komitmen Pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan fiskal secara menyeluruh. Perbaikan terus-menerus di sisi belanja melalui berbagai upaya penguatan efisiensi dan efektivitas anggaran harus dibarengi dengan penguatan di sisi pendapatan. ”Keberhasilan reformasi kebijakan fiskal sangat krusial karena mampu memfasilitasi reformasi struktural lainnya, seperti reformasi di bidang kesehatan dan pendidikan untuk penguatan modal manusia (human capital) serta keberlanjutan penguatan infrastruktur (physical capital). Reformasi struktural akan membentuk fondasi bagi ekonomi yang semakin tumbuh tinggi secara berkelanjutan ke depan untuk mencapai Indonesia Maju 2045, melalui penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kompetitif”, lanjut Febrio.

UU HPP juga akan menguatkan efektifitas fungsi APBN, yang meliputi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Ketiga fungsi APBN tersebut akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila ditopang oleh pendapatan negara yang kuat, pengelolaan belanja negara yang berkualitas, dan pengelolaan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Fungsi alokasi terkait dengan penyedian berbagai pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban serta sarana dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya. Sedangkan fungsi distribusi erat kaitannya dengan upaya pemerataan hasilhasil pembangunan, baik antar-penduduk maupun wilayah. Berbagai bentuk program bantuan sosial kepada keluarga miskin dan hampir miskin serta program pembangunan kawasan tertinggal dan terluar (perbatasan) merupakan contoh paling nyata pelaksanaan fungsi distribusi APBN. Sementara itu, fungsi stabilisasi APBN menyangkut upaya-upaya Pemerintah dalam penanggulangan krisis ekonomi, seperti langkah cepat dan darurat oleh Pemerintah dalam rangka penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.

Pada hampir semua negara maju, perpajakan menjadi penopang pendapatan negara. Keberhasilan reformasi perpajakan menjadi faktor dibalik tingginya angka rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) di negara-negara maju tersebut. Sebagai ilustrasi, rata-rata tax ratio di negara-negara OECD berdasarkan data World Development Indicators Bank Dunia tahun 2019 mencapai 15,87% PDB. Oleh sebab itu, reformasi perpajakan dalam UU HPP memperhatikan praktik-pratik administrasi dan kebijakan terbaik (best practices) yang berhasil di dunia, disamping mengikuti dinamika bisnis terkini.

Basis dari reformasi perpajakan yang ideal yang dilakukan melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Di sisi pajak penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dalam UU HPP tercermin pada (i) dukungan penguatan UMKM dengan memberikan batasan peredaran bruto usaha tidak kena pajak sebesar Rp500 juta dan tetap mempertahankan diskon PPh 50%, (ii) perbaikan progresivitas PPh Orang Pribadi (OP) dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak s.d. Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh OP terendah 5% dari yang sebelumnya hanya s.d. Rp50 juta, dan menambah satu lapisan tarif PPh OP tertinggi 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun, (iii) perluasan basis pajak dengan menerapkan pajak atas natura (fringe benefit), serta (iv) mempertahankan tarif PPh badan mulai Tahun Pajak 2022 sebesar 22%.

Sebagai contoh, perhitungan PPh untuk lapisan tarif terendah WP OP yang berstatus lajang/tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga dengan penghasilan s.d. Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta setahun hanya akan membayar PPh Rp300 ribu setahun, atau
hanya 0,5% dari total penghasilannya dalam setahun.

Sementara itu, keadilan dan keberpihakan pada sisi PPN dilakukan dengan tetap melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya. Masyarakat tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial. Keberpihakan ini konsisten dengan sisi belanja, dimana belanja Pendidikan di APBN 2022 mencapai Rp542,8 triliun, kesehatan Rp256 triliun, dan perlindungan sosial mencapai Rp429,9 triliun.

Selanjutnya, UU HPP me-refocusing pengecualian (exemption) dan fasilitas PPN agar sistem PPN lebih adil dan tepat sasaran, namun tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Refocusing ini akan memperluas basis pajak dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, kemanfaatan bagi kesejahteraan umum, dan kepentingan nasional. Kebijakan tersebut juga akan meningkatkan kepastian hukum. Disamping itu, UU HPP juga memberikan kemudahan dan dukungan pada pengusaha kecil dalam melakukan kewajiban PPN dengan memperkenalkan tarif final untuk Pengusaha Kena Pajak dengan peredaran usaha tertentu, jenis barang/jasa tertentu, dan/atau sektor tertentu. Sebagai contoh, Pengusaha Kena Pajak dengan peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu yang akan diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Keuangan (WP UMKM) melakukan pemungutan dan penyetoran PPN yang lebih rendah dari tarif PPN secara normal.

Sebagai bagian dari strategi reformasi administrasi perpajakan, UU HPP akan mendorong peningkatan kepatuhan. Strategi reformasi administrasi perpajakan diarahkan untuk mendorong kepatuhan sukarela, dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan. Hal ini dilakukan melalui penggunaan NIK sebagai NPWP OP, penyesuaian persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedures/MAP).

”Dengan berbagai perubahan kebijakan maupun peningkatan kinerja administrasi perpajakan, UU HPP diperkirakan memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Dalam jangka pendek di tahun 2022, penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan rasio perpajakan di kisaran 9% PDB, dan selanjutnya dalam jangka menengah rasio perpajakan bisa mencapai lebih dari 10% PDB paling lambat di tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan”, tutup Febrio. Hasil estimasi Kementerian Keuangan juga menunjukkan bahwa UU HPP dapat dilaksanakan  tanpa trade off signifikan pada perekonomian nasional termasuk stabilitas harga dalam jangka pendek.


Narahubung Media:

Endang Larasati
Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik
Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan
ikp.bkf@kemenkeu.go.id

Baca