Pemerintah Siapkan Pengaturan yang Lengkap untuk Pajak Karbon

SP-14/BKF/2022

Jakarta, 1 April 2022 – Secara geografis, Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen kuat untuk menanggulangi perubahan iklim. Indonesia sendiri, di tingkat global, telah menyampaikan komitmennya pada Paris Agreement dengan menetapkan target penurunan emisi atau Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Komitmen yang semakin kuat tersebut ditunjukan dengan pembaruan Dokumen NDC Indonesia pada 2021 di mana Pemerintah Indonesia menambahkan sektor kelautan dan perikanan serta kontribusi dari sisi adaptasi.

Selain itu, pemerintah juga menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat. “Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN maupun swasta”, ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. 

Secara umum, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dikelompokkan menjadi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Aspek mitigasi menekankan pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara upaya adaptasi perubahan iklim memprioritaskan upaya menurunkan kerentanan iklim (climate vulnerability) dan meningkatkan ketahanan iklim (climate resilience). 

Seluruh upaya tersebut membutuhkan dukungan dari sisi pendanaan baik melalui skema belanja pemerintah (APBN/APBD) maupun sumber-sumber pendanaan lainnya yang sesuai regulasi. Untuk lebih mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), pungutan atas karbon seperi pajak karbon dan PNBP, serta mekanisme lainnya.

Pengaturan terkait pajak karbon sendiri diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

Saat ini, Kementerian Keuangan sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan Pajak Karbon seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara aturan lain seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM). 

Agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, di saat yang bersamaan, Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021 antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. “Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim”, lanjut Febrio. 

Proses penyusunan peta jalan (roadmap) pajak karbon perlu memperhatikan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon diantaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya. Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi. 

Pengenaan pajak karbon akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan (just) dan terjangkau (affordable) serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.

Saat ini, risiko dan dinamika ekonomi global mengalami eskalasi yang sangat tinggi, terutama akibat konflik Rusia dan Ukraina, serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju terutama Amerika Serikat. Kedua faktor tersebut mengakibatkan lonjakan harga komoditas global yang sangat tinggi khususnya komoditas energi dan pangan. Kondisi ini memberikan tekanan inflasi di banyak negara di dunia termasuk Indonesia.    

Dengan perkembangan tersebut, fokus Pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga. 

Proses penyempurnaan skema pasar karbon termasuk peraturan perundang-undangan terkait, yang akan menjadi pelengkap penerapan pajak karbon, juga membutuhkan penyempurnaan. Oleh sebab itu, pemerintah akan menerapkan pajak karbon saat regulasi dan kesiapan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon lebih siap. “Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal”, tutup Febrio. Sehingga, Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini. 

Baca