Moral Hazard Dan Pencegahannya Pada Industri Perbankan di Indonesia

Penulis: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (2014)

Industri perbankan adalah industri  yang unik bila dibandingkan dengan industri lainnya. Seperti industri lainnya yang berorientasi laba (profit oriented), industri ini juga menjalankan peran pengawasan (monitoring) terhadap debitur, di sisi lain industri ini juga di-monitor oleh deposan, termasuk oleh regulator  dan lembaga penjamin simpanan.  Deposan tidak memonitor secara langsung penggunaan dana yang ditempatkan ke debitur, namun lembaga perbankan yang memonitor debitur sebagai amanat deposan atau penyimpan dana di bank. Monitoring atau kontrol ini akan berjalan sebagaimana mestinya ketika mereka memiliki kepentingan yang selaras.  Bila tidak terjadi keselarasan insentif dan kepentingan diantara mereka, maka akan terjadi konflik kepentingan (conflict interest) dan pada gilirannya akan menyulitkan fungsi monitoring, bahkan pemegang saham dapat melakukan pengambilan risiko tinggi atas beban pemegang saham lain, deposan dan atau lembaga penjamin simpanan. Oleh karena itu peran regulasi berfungsi sebagai representasi publik terkait dengan monitoring pada industri perbankan. Kasus pembobolan dana nasabah Citibank yang dilakukan oknum tertentu baik nama pribadi atau persekongkolan tertentu merupakan contoh nyata moral hazard dunia perbankan di Indonesia.

Pada industri ini, kesulitan utama dalam pengawasan (monitoring)  adalah karena adanya asimetri informasi (asymmetry information) atau ketidak selarasan informasi, yang menjadikan industri ini rawan masalah moral hazard. Kepentingan pemegang saham dapat mengorbankan pihak lain (misal deposan, lembaga penjamin atau pemegang saham minoritas) untuk keuntungan dirinya, kepentingan manajemen bisa mengorbankan kepentingan pemegang saham, kepentingan debitur dapat mengorbankan kepentingan bank.  Pada Industri perbankan ini, para agen atau bankir sering mempunyai informasi yang lebih baik mengenai bisnis tersebut daripada pihak principal (pendiri), para agen bisa memaksimumkan utilitasnya atas beban pihak lain, atau paling sedikit agen tidak menanggung secara penuh atau sepadan dengan kerugian bila terjadi. Para pemegang saham dan manajemen bisa mempunyai agenda tersembunyi yang bertentangan dengan etika dan prinsip-prinsip pengelolaan perbankan yang sehat karena kegagalan bank akan menjadi beban penjamin simpanan dan atau deposan.

Sangat wajar kalau industri perbankan di Indonesia ini senantiasa diarahkan agar menjadi bank yang sehat serta dijaga stabilitas dan performancenya dari berbagai goncangan dan dampak buruk karena perilaku buruk para bankir, pemilik maupun para deposannya. Hal ini merupakan konsekuensi menjaga industri perbankan nasional yang pada hakekatnya akan mendukung perkembangan ekonomi Indonesia selaku intermediator penyaluran berbagai skim pendanaan. Efektifitas perbankan yang sehat akan mempengaruhi dan mendukung berbagai kebijakan fiskal yang diluncurkan pemerintah. Tentu saja dengan timbulnya moral hazard mempunyai implikasi kebocoran dan mengakibatkan biaya fiskal yang mahal.

Data terakhir menunjukkan, jumlah perbankan di Indonesia sekarang  ini berjumlah 102 bank umum dan 11 badan usaha syariah, 23 unit usaha syariah, serta 146 BPRS dengan jaringan kantor sebanyak 1.625 yang menjangkau 89 kabupaten dan 33 propinsi (data Bank Indonesia per April 2011). Berkembang pesatnya industri perbankan nasional harus dikelola dengan baik yang membutuhkan koordinasi baik otoritas moneter dalam hal Bank Indonesia maupun pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang fiskal serta otoritas jasa keuangan agar moral hazard dapat diminimalisasi.

File Terkait:

Baca   Download