Kajian Literatur Tentang Zakat Sebagai Tax Credit

Penulis: Muhammad Afdi Nizar, Tri Achya Ngasuko, Afif Hanifah (2018)

Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, dan ibadah haji ke kota Makkah. Semua masyarakat muslim yang mampu wajib melaksanakan kelima rukun Islam karena lima hal tersebut merupakan pondasi dasar bagi umat Islam. Menurut hukum Islam (istilah syara'), zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu. Zakat didistribusikan terbatas kepada delapan golongan yang ditentukan. Hal ini diatur dalam Al Quran Surat At Taubah ayat 60, meliputi fakir, miskin, amil zakat, Mualaf, Riqab, Gharim, Fi Sabilillah, dan Ibnu Sabil.  Fauziah (2011) menambahkan bahwa zakat mempunyai beberapa terminology, salah satunya adalah terminologi ekonomi yang artinya bahwa zakat sebagai sarana untuk memperlancar distribusi dan menstabilitaskan konsumsi dalam kehidupan masyarakat.

Di sisi lain, negara juga mempunyai tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat. Pajak merupakan salah satu instrumen untuk melaksanakan tujuan itu. Dalam Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, antara zakat dan pajak mempunyai titik singgung dimana keduanya sama sama mempunyai tujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Qardawi (2006) dalam Akbar dan Saimkayadibi (2012) menambahkan bahwa zakat tidak hanya tentang hal spiritual tetapi memiliki peran aktif dalam menyelesaikan masalah ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, utang dan bencana, kesenjangan ekonomi dan penimbunan uang. Dalam hubungannya dengan pajak negara, dalam tulisan Akbar dan Saimkayadibi (2012) juga menerangkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Azis menerapkan zakat dan pajak negara secara bersama-sama dalam usaha pengentasan kemiskinan pada saat itu.

Negara-negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim berusaha mengatur kedua hal tersebut secara berdampingan dengan mengeluarkan regulasi untuk mengaturnya. Di Indonesia, zakat telah diatur dalam dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang mendefinisikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (pajak dikurangkan). Tujuan pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang pengurangan zakat dari laba / sisa penghasilan kena pajak yang pembayar pajak tidak terbebani ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan perpajakan. Masih dalam Pasal 22 UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti UU No. 38 tahun 1999 bahwa zakat yang diakui sebagai pengurang pajak adalah zakat yang dibayarkan oleh para muzaki (pembayar zakat) kepada lembaga resmi, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Senada dengan Undang-undang pengelolaan zakat, UU No. 36 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 menyatakan bahwa beberapa hal yang tidak termasuk sebagai penghasilan kena pajak adalah: sumbangan bantuan, termasuk sedekah yang diterima oleh lembaga zakat atau lembaga amil zakat yang didirikan atau disetujui oleh Pemerintah dan para penerima berhak.

Dengan demikian di Indonesia zakat diperlakukan sebagai penguran pajak bruto, atau dikenal sebagai tax deductable. Ada praktik lain yang memperlakukan pajak sebagai pengurang pajak terutang atau dikenal sebagai tax credit. Kajian ini melihat praktik pengelolaan zakat di negara-negara lain. Selain itu, kajian ini juga akan mencoba memaparkan tentang kemungkinan penerapan zakat sebagai tax credit di Indonesia dengan merujuk praktik di beberapa negara yang sudah menerapkannya. Metode kajian yang dipakai dalam artikel ini adalah studi pustaka, studi pemikiran, dan juga jaringan informasi dari beberapa Negara yang dikaji.

Kajian menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut;

  1. Dari kajian literatur yang telah dilakukan mengenai praktik penyelenggaraan zakat sebagai pengurang pajak di Yordania, Sudan, Pakistan Arab Saudi, Kuwait, Mesir dan Malaysia, diperoleh kesimpulan bahwa hanya Pakistan, Arab Saudi, Kuwait dan Malaysia yang benar-benar memberlakukan penerapan zakat sebagai faktor pengurang pajak di negaranya. Lebih jauh, Arab Saudi dan Kuwait tidak benar-benar menerapkan zakat sebagai tax credit. Hal ini dikarenakan sesungguhnya zakat merupakan sumber penerimaan negara yang utama.
  2. Kesadaran membayar zakat melalui lembaga resmi pemerintah, khususnya Baznas, meningkat dari tahun ke tahun. Tax credit menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan tax deductable diharapkan makin banyak masyarakat muslim yang tergerak untuk memanfaatkan insentif pajak tersebut. Realisasi penerimaan pajak juga diperkirakan meningkat dikarenakan kita dapat memproyeksikan penghasilan riil dari masyarakat. Perhitungan potensi ini dipastikan masih akan meningkat mengingat data yang dikumpulkan hanya berasal dari penerimaan zakat—diluar zakat fitrah, infaq dan sadaqah—yang dikumpulkan dari Baznas.

Beberapa hal yang harus dilakukan agar penerapan zakat sebagai pengurang pajak dapat diberlakukan di Indonesia adalah:

  1. Kejelasan aturan mengenai zakat dan pajak, terutama pajak penghasilan yang selama ini masih berseberangan.
  2. Edukasi kepada masyarakat untuk mengurangi noise maupun penolakan dari berbagai kalangan.

Apabila zakat sebagai tax credit akan diberlakukan, maka pencatatan dan pelaporannya harus menjadi bagian dari APBN.