Konsesi dan Insentif untuk Mendorong Partisipasi Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia

Penulis: Wahyu Utomo, Ginanjar Wibowo, Irma Marlina, Bondi Arifin, Desi Dwi Bastias, Ahmad Fikri Aulia, Muhammad Olgiano Paellorisky, Mikhael Fransiscus Silalahi, Irsyan Maududy, Agung Romy Hasiholan, Bimbika Sijapati Basnett, Mercoledi Nasiir, Dinar Dwi Prasetyo (2021)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan seluruh jajaran pemerintah untuk memberdayakan penyandang disabilitas dalam rangka mempromosikan inklusi disabilitas. Salah satu bentuk pemberdayaan yang dapat dilakukan yaitu melalui pemberian konsesi (potongan biaya) sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Pemberian konsesi ini penting diberikan karena dapat mengurangi hambatan penyandang disabilitas terkait akses ke layanan dasar sehingga diharapkan dapat meningkatkan penghasilan dan juga partisipasinya dalam perekonomian. Berkaitan dengan hal tersebut, Pusat Kebijakan APBN – BKF bekerja sama dengan PROSPERA melakukan kajian yang bertujuan antara lain untuk: (i) mengestimasi prevalensi dan memetakan penyandang disabilitas di Indonesia; (ii) mengestimasi biaya hidup tambahan bagi penyandang disabilitas; (iii) melakukan benchmarking internasional tentang konsesi dan analisis kesenjangan di Indonesia; dan (iv) mengidentifikasi opsi paket konsesi yang dapat diimplementasikan di Indonesia.

Berdasarkan kajian yang dilakukan, diketahui bahwa sekitar 20 juta penduduk Indonesia (8,6%) yang menyandang disabilitas menanggung biaya hidup yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan non penyandang disabilitas. Kondisi tersebut menimbulkan tantangan bagi mereka dalam berpartisipasi secara penuh dalam perekonomian. Pada tahun 2019, 75% penyandang disabilitas berat dan 69% disabilitas sedang tidak mengenyam pendidikan apapun atau hanya tamat sekolah dasar. Pada level individu, hanya 44% penyandang disabilitas berada pada angkatan kerja, dibandingkan dengan 69,8% untuk non-disabilitas. Bagi yang bekerja pun mendapatkan penghasilan jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Selain itu, rumah tangga dengan disabilitas memiliki probabilitas tiga kali lebih mungkin menjadi miskin dibandingkan rumah tangga tanpa penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas menanggung biaya hidup yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan non penyandang disabilitas sehingga dapat mendorong rumah tangga ke dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan disabilitas, seperti biaya kesehatan dan transportasi yang lebih tinggi, biaya pengasuhan anak yang lebih tinggi, biaya tambahan untuk alat bantu dan rehabilitasi, serta opportunity cost yang timbul karena pendidikan dan daya saing yang lebih rendah. Untuk rumah tangga termiskin, rumah tangga dengan anggota keluarga penyandang disabilitas harus menanggung biaya tambahan hingga mencapai 20% untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Merujuk praktik di negara lain dan simulasi di Indonesia, pemberian paket konsesi dapat mengurangi biaya yang ditanggung penyandang disabilitas dan mendorong partisipasi mereka dalam perekonomian secara lebih efektif dibandingkan dengan pemberian bantuan tunai (cash transfer) saja. Konsesi ini perlu dipandang sebagai bagian dari paket perlindungan sosial, yang dapat melengkapi peran bantuan tunai secara efektif dan mengurangi dampak negatif ketika penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan. Selanjutnya, insentif dapat diberikan kepada kepada penyedia layanan untuk mendorong peran aktif mereka dalam memberikan konsesi bagi penyandang disabilitas. Namun demikian, diperlukan insentif moneter dan non-moneter untuk mendorong penyedia layanan untuk memberikan konsesi. Sebagai batu loncatan, program perlindungan sosial yang telah ada saat ini dapat digunakan untuk memfasilitasi usulan pemberian paket  konsesi ini.

Sebagai rekomendasi dari kajian ini, paket konsesi dapat diberikan terutama untuk empat sektor prioritas yaitu kesehatan, pendidikan, transportasi, dan utilitas. Pemberian konsesi yang diprioritaskan kepada empat sektor tersebut didasarkan pada tingginya extra cost yang saat ini ditanggung penyandang disabiilitas. Di bidang kesehatan, konsesi dapat diberikan berupa bantuan iuran kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tambahan manfaat atas alat bantu dan rehabilitasi penyandang disabilitas dalam program JKN, serta penerapan diskon pajak alat bantu penyandang disabilitas. Di sektor pendidikan, pemerintah perlu memprioritaskan dan menyediakan tambahan manfaat dalam Program Indonesia Pintar (PIP) untuk siswa yang terdaftar sebagai penyandang disabilitas. Di sektor transportasi, dapat diberikan diskon tiket untuk perjalanan dalam kota/komuter dan perjalanan antarkota/antarprovinsi bagi semua penyandang disabilitas yang terdaftar. Diskon utilitas atas biaya air minum, listrik, dan paket internet juga dapat diberikan untuk rumah tangga dengan penyandang disabilitas yang terdaftar.

Pemberian paket konsesi dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan ketersediaan data untuk upaya penetapan sasaran dan anggaran serta kesiapan kelembagaan. Pada tahap awal, paket konsesi dapat diberikan kepada penyandang disabilitas sedang-berat yang saat ini terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Selanjutnya, cakupannya dapat ditingkatkan sejalan dengan penyempurnaan DTKS, perluasan basis data penyandang disabilitas, dan identifikasi melalui data kependudukan nasional. Namun demikian, perluasan cakupan paket konsesi tersebut perlu mempertimbangkan ketersediaan kapasitas fiskal serta keberlanjutan fiskal jangka menengah-panjang.

Dari sisi pembiayaan, pemerintah pusat dapat melibatkan pemerintah daerah, BUMN/D, swasta, dan masyarakat melalui mekanisme urun biaya (cost sharing) dalam pemberian paket konsesi bagi penyandang disabilitas. Penyedia layanan BUMN/D dan swasta juga perlu didorong untuk memprioritaskan penyandang disabilitas dan mengoptimalkan skema penyediaan layanan yang sudah ada saat ini. Kesiapan kelembagaan perlu menjadi fokus utama untuk mengatur pembagian tugas dan fungsi setiap institusi yang terlibat dalam penyediaan paket konsesi. Hal ini dapat mencakup penyediaan kerangka monitoring, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan untuk keberhasilan pelaksanaan program konsesi dan dapat menghasilkan manfaat yang optimal.

Sebagai langkah awal, dapat dilakukan uji coba pemberian paket konsesi yang layak dan terukur di beberapa daerah dengan prevalensi disabilitas yang tinggi. Paket percontohan ini dapat meliputi pemberian bantuan iuran JKN, perluasan cakupan manfaat JKN untuk alat bantu dan rehabilitasi, diskon pajak untuk alat bantu, PIP inklusif disabilitas, diskon transportasi baik dalam kota maupun antarkota/antarprovinsi, diskon listrik, air minum, dan paket internet.