Selain Sandang, Pangan dan Papan, Jaminan Kesehatan juga Penting sebagai Kebutuhan

Jakarta (29/05) - Beberapa waktu terakhir masyarakat Indonesia marak mendiskusikan tentang kebijakan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dan dikeluarkan di tengah pandemi Covid 19. Untuk mengupas lebih dalam di balik pengambilan keputusan kebijakan tersebut, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menyelenggarakan Seri Webinar yang bertemakan ‘Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang Berkeadilan dan Berkesinambungan’ melalui konferensi video dan disiarkan langsung via kanal YouTube BKFKemenkeu yang berhasil mencuri perhatian sebanyak 3,000 orang.

Sesi diskusi yang berjalan cukup panjang dan mandalam selama kurang lebih tiga jam ini dimoderatori oleh Yani Farida Aryani, Ketua Kelompok Analis Kebijakan Sektor Keuangan Publik BKF. Sementara itu, peserta yang bergabung dalam acara ini adalah akademisi, praktisi, asosiasi, dan tentunya unsur pemerintah (Kementerian/Lembaga terkait), termasuk juga di dalamnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam penerapannya, program JKN menganut prinsip kegotongroyongan; nirlaba; keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas; portabilitas; dan kepesertaan yang bersifat wajib; dana amanat; dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional. Prinsip kegotongroyongan menjadi landasan dasar pengambilan keputusan Perpres No.64/2020 terkait subsidi iuran. Yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit.

“Substansi Perpres No. 64 Tahun 2020 telah disesuaikan dengan dasar pertimbangan Mahkamah Agung bahwa iuran harus mempertimbangkan kemampuan membayar, keadilan sosial, dan kesinambungan program. Selain itu Perpres tersebut juga mengatur komitmen untuk memperbaiki kualitas layanan. Penerbitan kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk memperbaiki program JKN secara menyeluruh dengan memperbaiki ekosistem JKN yang mencakup  layanan, pendanaan, dan kesinambungan program”, ungkap Kepala BKF, Febrio Kacaribu, pada pembukaan webinar.

Hal penting yang diatur dalam Perpres No. 64 tahun 2020 antara lain: (i) Perbaikan segmentasi peserta dan penyesuaian besaran iuran; (ii) Penduduk yang didaftarkan Pemerintah Daerah (PBI APBD); (iii) Kebijakan penyesuaian besaran iuran; (iv) Kebijakan mengaktifkan kepesertaan dari peserta yang menunggak; serta (v) Kebijakan perbaikan tata kelola sistem pelayanan JKN.

“Lebih lanjut, ketentuan iuran yang diatur dalam Perpres 64/2020 mencakup antara lain: pertama, Iuran peserta PBPU dan BP Kelas III tidak mengalami kenaikan, tetap sebesar Rp25.500/orang/bulan yang berarti lebih rendah dari iuran PBI yang diperuntukkan bagi orang miskin dan tidak mampu sebesar Rp42,000. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan iuran sebesar (selisih) Rp16,500/orang/bulan. Tahun 2021, bantuan pemerintah menjadi Rp7,000/orang/bulan sehingga peserta PBPU dan BP Kelas III akan membayar iuran sebesar Rp35,000/orang/bulan”, lanjut Febrio.

Kedua, penyesuaian iuran hanya untuk peserta PBPU dan BP Kelas I dan II yang merupakan segmen golongan menengah ke atas dan berlaku mulai 1 Juli 2020. Segmen yang lain tidak mengalami perubahan. Iuran Kelas I menjadi Rp150,000/orang/bulan dari sebelumnya Rp160,000 dan Kelas II menjadi Rp100,000/orang/bulan dari sebelumnya Rp110,000. Penyesuaian iuran ini masih jauh dari perhitungan aktuaria dimana Kelas I sebesar Rp286,000 dan Kelas II sebesar Rp184,000. Artinya, segmen Kelas I dan II pada praktiknya masih mendapat bantuan pemerintah. Iuran untuk peserta pada segmen tersebut masih seimbang dibandingkan dengan sektor formal yang membayar jaminan kesehatan sebesar 5% dari Take Home Pay-nya dengan maksimal Rp12,000,000/orang/bulan.

“Peserta yang tidak mampu membayar iuran pelayanan Kelas I dan II dapat berpindah ke Kelas III dengan kualitas pelayanan medis yang sama. Dengan iuran Rp25,500/orang/bulan masih lebih murah dari tarif untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebesar Rp42,000/orang/bulan yang ditanggung pemerintah”, tegas Febrio.

Febrio melanjutkan bahwa besaran iuran perlu direviu secara berkala. Pada praktiknya, iuran JKN terakhir mengalami kenaikan pada tahun 2016. Iuran PBPU dan BP Kelas III bahkan belum pernah disesuaikan sejak tahun 2014. Masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 132,6 juta jiwa menjadi peserta BPJS Kesehatan secara gratis (Peserta PBI). Iuran kepesertaan PBI dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN sebesar 96.6 juta jiwa dan APBD sebesar 36 juta jiwa. Selain itu, peserta Kelas III juga diberikan subsidi pemerintah dengan tujuan meningkatkan kepatuhan peserta dan mendorong peningkatan kepesertaan program JKN dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage. Pemberian subsidi ini juga merupakan langkah responsif pemerintah dalam menghadapi pandemi yang tengah melanda.

Di sisi lain, para pembicara dan pembahas webinar turut menyampaikan pandangannya secara komprehensif.

“Perlu direviu kembali tentang kecukupan porsi anggaran kesehatan baik dari APBN maupun APBD mengingat tantangan membangun sistem layanan kesehatan yang handal kedepannya. Keberlangsungan JKN dalam jangka waktu menengah sangat penting, namun jika hanya fokus pada JKN tidak akan memberikan outcome kesehatan yang berkelanjutan. Untuk itu mekanisme penyaluran dana perlu dipikirkan lebih lugas dan perlunya keseimbangan dari kegiatan kesehatan masyarakat yang preventif”, jelas Prastuti Soewondo dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia selaku pembicara.

“Ketentuan satu keluarga harus berada dalam satu kelas perawatan perlu direvisi. Dalam satu keluarga seharusnya diperbolehkan memilih kelas perawatan yang berbeda tergantung kemampuan masing-masing. Selain itu, ketentuan pembayaran iuran yang mengharuskan satu keluarga sekaligus perlu direvisi dan memperkenankan pembayaran iuran per orang. Perpindahan kelas perawatan juga tidak perlu harus mengikuti minimal satu tahun kepesertaan di kelas tertentu terelebih dahulu. Dan yang paling penting, cleansing data PBI APBN harus terus dilakukan”, tegas Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch selaku pembicara.

Sebagai pembahas, Laksono Trisnantoro, Profesor di Departemen Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada berharap kedepannya ada pemisahan manajemen dana antar segmen peserta BPJS yang lebih akuntabel. Beliau juga mengusulkan agar kedepannya, pengeluaran kelompok PBPU dan BP perlu dikendalikan serta masyarakat yang mampu secara finansial dipersilakan mengambil akses jaminan kesehatan komersial, sedangkan masyarakat yang tidak mampu dimasukkan ke kelompol PBI.

Turut hadir sebagai pembicara pada webinar ini: Ronald Yusuf, Kepala Bidang Program Analisis Kebijakan Pusat Kebijakan Sektor Keuangan BKF dan sebagai pembahas: Wahyu Utomo, Ketua Kelompok Analis Kebijakan Belanja Pusat dan Pembiayaan, Pusat Kebijakan APBN BKF. (fms)