Atasi Krisis Akibat COVID-19, Pemerintah Responsif Rumuskan Program Pemulihan Ekonomi Nasional

Jakarta (04/06) – Pandemi COVID-19 masih terus melanda Indonesia. Salah satu upaya pemerintah mengatasi dampak pandemi adalah dengan merumuskan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kementerian Keuangan, melalui taklimat media ‘Tanya BKF’ menghadirkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, sebagai narasumber utama untuk mengupas ‘PEN dan Isu Fiskal Lainnya’. Taklimat perdana yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Kemenkeu RI ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta dari kalangan pers.

“Kondisi pandemi yang sekarang sedang kita hadapi ini serupa dengan Spanish Flu yang terjadi 100 tahun yang lalu. Krisis yang dihadapi tentunya juga berbeda dengan krisis-kriris yang ada selama ini. Pengambilan kebijakan oleh pemerintah pada saat seperti ini berprinsip pada kecepatan, prioritas, dan kehati-hatian”, ujar Febrio saat memulai pembahasan PEN.

Program PEN adalah bagian dari kebijakan extraordinary. Penyebaran COVID-19 yang begitu cepat dan meluas menciptakan krisis kesehatan (29 Februari 2020) di Indonesia sehingga membutuhkan PERPU 1/2020 untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/dalam rangka menghadapi ancaman ekonomi atau stabilitas sistem keuangan yang kemudian disahkan menjadi UU 2/2020.

Program PEN sendiri diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi Pasal 11 PERPU 1/2020. Dalam PERPU tersebut, PEN dilakukan dengan empat modalitas dan belanja negara: PMN, Penempatan Dana, Investasi Pemerintah, Penjaminan, dan Belanja Negara (namun tidak terbatas pada subsidi bunga UMKM).

“Kita mendapat dukungan yang kuat dari DPR. Sebagai pengambil kebijakan kita harus gerak cepat namun di sisi lain harus sesuai dengan yang dbutuhkan masyarakat dan konstituen kita”, lanjut Febrio.

Selain menciderai aspek kesehatan, dampak pandemi COVID-19 juga memberikan efek domino pada aspek sosial, ekonomi, dan keuangan. Langkah untuk melandaikan kurva penderita COVID-19 memiliki konsekuensi pada berhentinya aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja di berbagai sektor. Pertumbuhan ekonomi menurun tajam. Volatilitas sektor keuangan juga muncul seiring menurunnya kepercayaan investor.

Koreksi pertumbuhan ekonomi ini akan menimbulkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja. Dengan berbagai langkah extraordinary, pemerintah berupaya menjaga agar pertumbuhan ekonomi dan dampak kesejahteraan sosial tidak menuju skenario sangat berat setelah COVID-19: proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5.3% menjadi -0.4%, kemiskinan naik 4,86 juta jiwa; dan pengangguran meningkat sebanyak 5,23 juta jiwa.

“Total biaya penanganan COVID-19 yang digelontorkan adalah sebesar Rp677,20 T dengan porsi Kesehatan sebesar Rp87,55 T; Perlindungan Sosial sebesar Rp203,90 T; Insentif Usaha sebesar Rp120,61 T; UMKM sebesar Rp123,46 T; Pembiayaan Korporasi Rp44,57 T; dan Sektoral K/L serta Pemda sebesar Rp97,11 T”, jelas Febrio.

Febrio menambahkan bahwa perubahan defisit yang melebar dari 5.07% menjadi 6,34% dari PDB merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan pemerintah harus senantiasa responsif setiap waktu. Selama dua bulan terakhir, proses konsultasi pengambilan kebijakan dilakukan dengan seluruh stakeholder (pengusaha, pemerintah, masyarakat) agar terciptanya kebijakan yang responsive dan tepat guna. (fms)