Hadiri Seminar Internasional UI, Kepala BKF Jelaskan Komitmen Indonesia terkait Perubahan Iklim

Jakarta (02/03):  Dalam satu decade terakhir, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat 1,5% per tahun, yang memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Menurut penelitian, kenaikan suhu global sebesar 2° C atau lebih akan berdampak signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Paris Agreement yang telah diratifikasi oleh 192 pihak mewakili 97% emisi global termasuk Indonesia. Berdasarkan perjanjian tersbut, negara-negara telah berkomiten untuk mengurangi emisi GRK mereka dan membangun ketahanan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Dalam seminar internasional bertajuk 18th Economix “Multidimensional Perspectives on Climate Breakdown: Exploring the Aftermath” yang diselenggarakan secara virtual oleh Universitas Indonesia, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menyampaikan bahwa Indonesia memliki komitmen yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim. Aksi nasional ini telah dijalankan sejak tahun 2011. Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam gerakan global dan diskusi untuk mendukung perubahan iklim melalui United Nations Framework Convention on Climate Change Conference of the Parties

Lebih lanjut, Febrio menjelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan transparansi pendanaan publik untuk perubahan iklim di Indonesia, pada tahun 2016, Kementerian Keuangan menginisasi sistem penganggaran perubahan iklim (Climate Budget Tagging). Climate Budget Tagging adalah proses menandai, melacak, dan mengidentifikasi perubahan output dan anggaran perubahan iklim dalam dokumen perencanaan dan penganggaran.

“Selama 5 tahun terakhir, rata-rata alokasi belanja APBN untuk perubahan iklim tiap tahun adalah sebesar Rp89,6 triliun per tahun atau sebesar 3,9% dari APBN,” jelas Febrio.

Febrio juga menjelaskan bahwa kebijakan fiskal lainnya dalam merespons perubahan iklim, antara lain seperti pemberian fasilitas perpajakan berupa tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk, pengurangan PPN, pajak penghasilan ditanggung pemerintah dan pengurangan pajak properti untuk mendukung pengembangan geothermal dan energi terbarukan lainnya.

Untuk mendukung kebijakan fiskal yang ekspansif, pemerintah menjalankan kebijakan pembiayaan melalui pengembangan instrumen pembiayaan inovatif yang dikelola secara prudent guna menjaga kesinambungan fiskal.

“Kementerian Keuangan telah menerbitkan Sovereign Green Sukuk untuk mendanai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Febrio.

Pada akhir paparannya, Febrio menyampaikan bahwa seluruh dunia terancam perubahan iklim, oleh karena itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengatasinya. Pemulihan ekonomi hijau dilaksanakan di berbagai negara untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Partisipasi berbagai pihak menjadi krusial dan pemerintah memiliki peran penting untuk mendorong partisipasi dan kolaborasi tersebut. (cs)