Talkshow TEKF: Menjaga Optimisme Pemulihan Ekonomi

Jakarta (28/04):  Perkembangan positif vaksinasi di triwulan pertama 2021 menguatkan harapan akan pemulihan ekonomi. APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal melanjutkan peran sentralnya dalam mendorong proses pemulihan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program-program dalam PEN sangat krusial dalam menjaga konsumsi masyarakat dan keberlangsungan aktivitas usaha. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menerbitkan Tinjauan Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Fiskal (TEKF) edisi I/2021 yang secara mengulas khusus program PEN. TEKF edisi ini diluncurkan secara resmi dalam acara Talkshow TEKF “Menjaga Optimisme Pemulihan Ekonomi” yang digelar secara virtual pada Rabu, 28 April 2021. Hadir memberikan sambutan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Hidayat Amir menyampaikan bahwa acara talkshow ini diharapkan dapat mengelaborasi lebih lanjut dengan para penulis utama untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas. Amir juga mengungkapkan bahwa tema yang diangkat pada edisi pertama TEKF sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Lebih lanjut, Amir menyampaikan bahwa 2020 merupakan tahun yang tidak mudah, bahkan APBN harus direvisi melalui Perpu yang intinya bertujuan untuk memberikan fleksibilitas pada APBN agar dapat merespons kejadian yang luar biasa. Hasilnya, pada awal tahun 2021 ini, indikator sudah menunjukan sinyal pemulihan.

“Pemerintah ingin berbagai indikator itu momentumnya kita jaga, langkahnya kita jaga, agar pemulihan ekonomi ini benar-benar terjadi dan memberikan hasil yang terbaik di masa yang akan datang,” ujar Amir.

Talkshow ini mendatangkan tiga narasumber yang mumpuni di bidangnya. Mereka adalah Analis Kebijakan Muda BKF Anggi Novianti;  Analis Kebijakan Madya BKF Wahyu Utomo; dan Peneliti Muda BKF Bondi Arifin.

Sebagai narasumber pertama, Anggi memaparkan tentang Perkembangan Ekonomi Makro dan Global. Anggi menyampaikan bahwa Pandemi COVID– 19 yang terjadi menyebabkan ketidakpastian yang tinggi. Di awal kemunculannya, beberapa kalangan tidak memiliki clue dan beberapa sudah memberikan peringatan.

“Waktu itu memang banyak yang tidak punya clue karena ini krisis yang berbeda, yaitu kesehatan dimana mentranslasikan krisis ini ke ekonomi tidak mudah,” kata Anggi.

Karena banyak negara yang sulit memprediksi pandemi ini, maka formulasi kebijakan untuk menangani hal tersebut dibuat dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Banyak negara mengalami kontraksi yang dalam. Untuk meresponnya, kebijakan extraordinary untuk memberikan stimulus dengan pelebaran defisit banyak dilakukan. Seperti negara lainnya, Indonesia melakukan hal yang sama, namun dengan level defisit yang masih moderat jika dibandingkan dengan negara lain.

Anggi menyampaikan bahwa arah perekonomian global saat ini sudah mengalami perbaikan dan sebenarnya sudah terjadi sejak kuartal III tahun 2020. Meski pemulihan sudah terasa, masih ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai seperti kasus baru COVID-19, belum meratanya akses vaksin, masih ada sektor contact-intensive yang sulit pulih seperti pariwisata, kemungkinan normalisasi kebijakan moneter AS yang lebih cepat dan isu proteksionisme yang masih mengancam.

Selanjutnya, membahas terkait evaluasi Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tahun 2020, Bondi menjelaskan bahwa biaya penanganan COVID-19 di bidang kesehatan adalah sebesar Rp87,55 Triliun dan telah terealisasi sebesar Rp63,5 Triliun. Belanja ini digunakan untuk pemberian insentif tenaga medis, santunan kematian bagi nakes, bantuan iuran JKN, gugus tugas dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.

Setelah dilaukan evaluasi, pemerintah melakukan revisi peraturan untuk mendorong percepatan penyaluran insentif tenaga kesehatan. Hasilnya, peningkatan penyaluran insentif terjadi cukup signifikan. Selain itu, vaksinasi digratisan kepada seluruh masyarakat dan hingga saat ini, seluruh tenaga kesehatan sudah memperoleh vaksinasi dosis tahap pertama, sementara petugas publik sudah ter-cover 45% untuk dosis pertama. Tantangan masih ada di lansia karena memiliki risiko yang tinggi.

“Meski vaksinasi sudah ada, 3T dan 3M akan terus dilakukan sebagai komplemen dari proses vaksinasi karena program tersebut juga terbukti dapat mengurangi jumlah kasus COVID–19,” tutur Bondi.

Topik terahir, yakni terkait konsolidasi fiskal yang dipaparkan oleh Wahyu. Menurutnya, konsolidasi fiskal esensinya mendorong pengelolaan fiskal lebih sehat, berdaya tahan dan berkelanjutan. Besaran konsolidasi fiskal bergantung pada kekuatan ekonomi suatu negara, pengelolaan utangnya dan dukungan politik. Konsolidasi menjadi sebuah kebutuhan, bukan hanya untuk keberlanjutan fiskal, tetapi juga kebutuhan untuk menyehatkan perekonomian kita dan kebutuhan untuk menghadirkan keadilan antar generasi. (cs)