Kemenkeu dan ADB Gelar Seminar untuk Mengulas Pentingnya Transisi Energi bagi Negara Anggota ASEAN

Jakarta, 9 Februari 2023 - Emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara (Coal fired power plants/CFPP) adalah salah satu kontributor utama perubahan iklim dan juga bertanggung jawab atas terjadinya sejumlah besar masalah lingkungan dan sosial seperti polusi udara, pencemaran air serta ancaman kesehatan manusia. Sebagian besar CFPP ini ditemukan di negara berkembang, termasuk ASEAN. Negara-negara ASEAN masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangunan ekonomi dan industrinya. Bahan bakar fosil berkontribusi lebih dari 75% dari bauran energi pada tahun 2019, sementara energi terbarukan hanya 14%.

Negara-negara ASEAN telah setuju untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025 dan bergerak menuju masa depan rendah karbon. Untuk mencapai tujuan tersebut, ASEAN akan menghadapi tantangan besar yakni pembiayaan investasi yang signifikan untuk beralih dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan. “Memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam transisi energi untuk ASEAN bukanlah tugas yang mudah. Kerja sama internasional dan memobilisasi investasi swasta akan menjadi modal untuk mendukung agenda transisi energi. Negara-negara Anggota ASEAN harus menyiapkan dan menyediakan lingkungan pendukung yang dirancang dengan baik, serta sarana implementasi untuk menarik kerja sama internasional dan investasi swasta,” ujar Kepala Pusat Kerja Sama Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Nella Sri Hendriyetty dalam pembukaan seminar internasional “Aligning Energy Transition With Economic Development” yang diadakan bersamaan dengan pertemuan ASEAN Finance and Central Bank Deputies Meeting (AFCDM) 2023.

Sesi pertama seminar mengangkat tema “Introduction and Roundtable of Energy Transition Mechanism (ETM) in ASEAN Countries”. Sesi dimulai dengan pemaparan dari Chitra Priambodo (ADB) yang menyoroti perlunya kemitraan yang kuat dengan negara-negara anggota ADB untuk menggunakan ETM sebagai solusi untuk memberhentikan (Pensiun Dini) CFPP dan pentingnya investasi energi bersih di sektor ketenagalistrikan kawasan sebagai jalur menuju emisi nol bersih. Joko Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal membahas program ETM di Indonesia, dengan menghadirkan konteks kebijakan nasional, imbauan untuk Indonesia (memperpendek CFPP lifetime, pengurangan emisi, menurunkan biaya pembiayaan), country-driven approach, dan fokus untuk repurposing CFPP. Menurutnya, Platform Negara, PT SMI, berperan penting untuk menyalurkan dukungan fiskal melalui berbagai instrumen pendukung. Setelah itu, Marty Syquia dari ACEN Filipina mempresentasikan kasus pertama ETM tingkat aset di Filipina dengan terlebih dahulu menyebutkan visi korporasi untuk sepenuhnya dapat diperbarui pada tahun 2025. Pembicara terakhir sesi ini, Lawrence Ang dari Climate Smart Ventures mensintesakan pelajaran dari dua kasus ETM di Indonesia dan Filipina yakni pemberian insentif untuk proses transisi penghapusan batu bara dapat dilakukan dan mengakui keragaman ASEAN (peran pemerintah yang berbeda) dan kesamaan (misalnya menggiatkan pengembangan Energi Terbarukan).

Sesi kedua “Transition Finance Taxonomy and Standard” diawali dengan Ephyro Amatong, Former Commissioner of Securities and Exchange Commission - Philippines, yang menggarisbawahi perlunya transisi CFPP dan generasi bersih yang adil dan teratur untuk memenuhi Paris Agreement. Untuk kedua kasus di Indonesia dan Filipina, tindakan khusus diambil untuk memungkinkan pembiayaan yang ramah lingkungan. Menurutnya, ASEAN dapat melangkah lebih jauh dan menemukan cara-cara praktis untuk membiayai transisi yang adil. Kemudian Lim Bey An dari Monetary Authority of Singapore menjelaskan fitur unik utama dari Taksonomi ASEAN yakni memiliki klasifikasi “amber” untuk transisi. Ia juga menyoroti aspek interoperabilitas dalam menyelaraskan taksonomi nasional tiap negara dengan Taksonomi ASEAN. Taksonomi nasional dan ASEAN memainkan peran yang berbeda, sehingga dapat hidup berdampingan. Pembicara ketiga, Vuchi Dzung dari Komisi Sekuritas Negara Vietnam menggarisbawahi bahwa Dewan Taksonomi ASEAN mengakui keragaman dan inklusivitas kawasan ini. Dia juga menjelaskan tingkatan dan batasan yang berbeda untuk setiap aktivitas untuk melayani entitas yang berbeda. Dia berbagi pengembangan lebih lanjut dari standar dan pedoman (peraturan) menuju ASEAN yang lebih hijau dan bahwa standar transisi ASEAN diperlukan untuk memenuhi fitur ASEAN, sebagai referensi untuk standar nasional dan referensi untuk investasi swasta.

Sesi terakhir seminar ini mengangkat tema terkait karbon yakni “Carbon Pricing and Market in the Context of Financing ASEAN’s Energy Transition”. Joko Tri Haryanto menggarisbawahi kesenjangan pembiayaan di Indonesia. Beliau juga menjelaskan pengembangan kerangka kebijakan penetapan harga karbon, yang memungkinkan pasar perdagangan karbon internasional dan domestik, mengenakan pajak karbon dan Pembiayaan Berbasis Hasil. Pembicara kedua Tiza Mafira dari Climate Policy Initiative mempresentasikan perkembangan terkini pasar karbon (pasar kepatuhan dan sukarela). Menurutnya, tantangan untuk transisi saat ini adalah sulitnya untuk menetapkan kegiatan transisi yang memenuhi syarat untuk kredit karbon (penambahan finansial untuk ET, terlepas dari biaya tinggi untuk pembiayaan CFPP) dan tidak ada metodologi untuk mengukur pemberhentian (pensiun dini) CFPP. Terakhir, Chitra Priambodo menguraikan interaksi antara penetapan harga karbon dan kebijakan energi, kesiapan negara-negara ASEAN yang berpartisipasi dalam pasar karbon masa depan setelah kemajuan pasal 6 Paris Agreement, dan pembelajaran dari fasilitas dukungan Pasal 6 di negara berkembang anggota ADB (DMC), sebagai penutup Chitra juga menunjukkan tantangan pembiayaan karbon untuk kegiatan ETM di wilayah ASEAN. (at-as)