Sejauh Mana Upaya Pemerintah Berantas Kemiskinan Anak di Indonesia?

Jakarta, (21/11/2024) – Memperingati Hari Anak Sedunia (20/11), Badan Kebijakan Fiskal bekerjasama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia menyelenggarakan Diseminasi Kajian “Towards SDG 2030: A Commitment to Alleviate All Forms of Deprivation in Indonesia” di Auditorium MM-UI, Jakarta. Kajian ini mengangkat isu terkait kemiskinan atau deprivasi pada anak, dengan memasukkan indikator terkait anak sebagai salah satu elemen pengukuran.

 

Direktur LPEM UI, Chaikal Nuryakin menyatakan pada pembukaannya bahwa Indonesia membutuhkan alat ukur untuk melihat multidimensi nasional terkait kemiskinan, sehingga disusunlah Multidimensional Deprivation Index of Indonesia (MDI-I).

 

“Sejak tahun 2023 Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) BKF bekerja sama dengan LPEM-UI dan didukung sepenuhnya oleh UNICEF Indonesia melakukan studi terkait pendekatan MDI-I yang memotret berbagai aspek deprivasi multidimensi. Pendekatan ini akan dapat digunakan salah satunya untuk evaluasi atas strategi dan kebijakan fiskal Pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, ujar Noor Faisal Achmad, Kepala PKEM BKF.

 

Lebih lanjut Yoshimi Nishino, Chief of Social Policy at UNICEF Indonesia menuturkan bahwa dimensi dan indikator yang digunakan dalam kajian ini mencakup kesehatan, makanan dan gizi, pendidikan, perlindungan, perumahan, fasilitas, dan informasi. Kajian ini ditujukan untuk membantu mengembangkan desain kebijakan yang komprehensif karena diproduksi secara kolaboratif lintas Kementerian serta disesuaikan dengan konteks regional.

 

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen kebijakan fiskal juga terus diupayakan untuk dapat dioptimalkan dalam melindungi masyarakat dan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Tingkat kemiskinan pun terus menurun, bahkan berada di level terendah dalam satu dekade terakhir, yaitu sebesar 9,03% pada Maret 2024. Pemerintah terus berupaya menurunkan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem di Indonesia yang ditargetkan 0% pada 2026. Meski demikian, masih diperlukan pendekatan yang lebih holistik untuk menghasilkan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan.

 

Pendekatan multidimensi ini penting karena kemiskinan tidak hanya soal kekurangan finansial. Anak-anak mengalami kemiskinan atau mengalami kekurangan dalam berbagai aspek kehidupan. Anak kehilangan hak-hak mereka dalam berbagai dimensi, yang sangat penting untuk mencapai potensi penuh mereka. Sebuah keluarga mungkin terlihat sejahtera secara finansial, tetapi jika anak-anak mereka tidak memiliki akses pendidikan atau layanan kesehatan berkualitas, mereka tetap berada dalam lingkaran kemiskinan. Siklus ini yang perlu diputus mengingat anak-anak adalah generasi penerus bangsa.

 

Lebih jauh, Putu Geniki, Dosen FEB UI menjelaskan bahwa pendekatan multidimensi ini juga dapat melihat bagaimana peran tiap indikator di dalam status kemiskinan multidimensi, misalnya kemiskinan anak terhadap kemiskinan orang dewasa, sehingga kebijakannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

 

“Rekomendasi kebijakan yang didapat dari kajian ini antara lain: (i) Perlunya monitoring kemiskinan multidimensi krusial untuk melihat profil deprivasi penduduk dalam upaya meningkatkan kualitas modal manusia, serta (ii) Indikator deprivasi MDI-I dapat didisagregasi ke dalam level anak, gender, dan kedaerahan, sehingga dapat fokus pada daerah yang paling membutuhkan”, ujar Rina Karlina, Analis Kebijakan Ahli Muda BKF.

 

Investasi pada anak harus menjadi prioritas, mencakup pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak. Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan menghadapi risiko keterbelakangan yang dapat berdampak pada kesejahteraan mereka di masa depan. Pendekatan MDI-I tidak hanya dapat memperbaiki kondisi saat ini, tetapi juga mendukung program pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan atau keterbelakangan antargenerasi. (fms)