Meraih Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di tahun 2020

Jakarta (19/02): Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) yang ke-2 pada awal tahun 2020. Bertempat di Aula Mezzanine, Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan kondisi ekonomi Indonesia yang akan lebih baik ke depan.

“Kita melihat ekonomi 2020 akan menjadi lebih baik dengan optimisme sekaligus harapan namun kita juga harus tetap waspada. Itu yang kita lihat pada awal Januari karena semua proyeksi menunjukan 2020 akan lebih baik dari 2019 baik dari sisi growth maupun perdagangan internasional,” ujar Sri Mulyani.

Berbagai kemungkinan downside risk harus terus diwaspadai seperti halnya perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang berakhir dengan kesepakatan menurunkan tarif sebesar 10% dan Brexit yang sudah diputuskan secara politik.

Downside risk yang pertama muncul pada pertengahan Januari 2020 sampai dengan saat ini adalah corona virus. Corona virus begitu cepat merebak dan menginfeksi berbagai negara di dunia dan sudah menjadi risiko yang materialize bagi Indonesia sehingga membayangi optimisme ekonomi Indonesia di tahun 2020.

“Dengan munculnya corona virus maka terjadi revisi yang cukup signifikan karena RRT yang menjadi pusat dari munculnya corona virus ini adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia dimana kontribusinya 17% dari PDB dunia dan ukuran ekonominya sudah mencapai 13,6 Triliun USD. Jadi kalau RRT sekarang di-forecast karena corona virus ini mereka akan mengalami apa yang disebut proyeksi ekonominya penurunan itu berarti spillover-nya kedunia akan semakin besar karena RRT sebagai global value chain dan peranannya didalam perekonomian dunia jauh lebih besar baik dari sisi perdagangan, produksi maupun tourism” tegas Sri Mulyani.

Bagi Indonesia, corona virus berdampak pada beberapa sektor seperti sektor pariwisata, dimana turis dari RRT yang memiliki share sebesar 13% (terbesar ke-2 setelah malaysia) mengalami penurunan. Selain itu, berkurangnya pasokan dari Tiongkok serta larangan impor hewan hidup dan makanan minuman mengakibatkan imporIndonesia juga mengalami kontraksi yang cukup dalam. Konsumsi Tiongkok yang mengalami penurunan juga mengakibatkan berkurangnya permintaan terhadap barang-barang yang diproduksi di Indonesia seperti batubara dan CPO. Diperkirakan setiap 1% penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan berdampak ke Indonesia sebesar 0,3-0,6% pertumbuhan ekonomi.

Disisi lain, pertumbuhan ekspor dan impor pada kuartal IV tahun 2019 mengalami pelemahan dan berlanjut hingga januari 2020. Kinerja Ekspor mengalami pelemahan sebesar -0,39% dan impor sebesar -8,05%. Pelemahan impor didorong oleh lesunya sektor manufaktur yang merupakan kontributor terbesar, yang diindikasikan dengan penurunan indeks PMI Indonesia dari 49,5 menjadi 49,3. Ekspor Dan impor per Januari 2020 yang masing-masing turun -3,75% dan -4,78% yang dipengaruhi hari libur Imlek yang jatuh ditanggal 25 januari.

Di tengah pelemahan situasi global, pendapatan negara sampai dengan 31 Januari 2020 sudah terealisasi sebesar 4,6% dari target. Penerimaan Pajak ditopang PPh non Migas terkumpul sebesar Rp46,2 Triliun dan PPN sebesar Rp30,5 Triliun. Penerimaan Kepabeanan dan Cukai tumbuh 13,5% (yoy) didukung oleh pertumbuhan penerimaan Cukai sebesar 213,0% (yoy). Sementara itu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih tumbuh 2,3% (yoy) dan belanja negara yang sudah terealisasi 5,5% dari target diharapkan dapat memberikan stimulus ke perekonomian. (ddt/cs)