Komitmen Iklim Indonesia di tengah Pandemi Global

Jakarta (24/02):??Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Asian Development Bank Institute (ADBI) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI)?menggelar dialog kebijakan virtual yang mendiskusikan kebijakan fiskal pada era COVID-19 dan pembangunan hijau di kawasan Asia dan Pasifik.

Acara dibuka oleh kepala dari 3 institusi yang terlibat, yaitu CEO ADBI Tetsushi Sonobe; Kepala BKF Febrio Kacaribu; dan Kepala LPEM FEB UI Riatu Mariatul Qibthiyyah. Febrio menyampaikan bahwa pada tahun 2020, pandemi COVID-19 telah berdampak pada perekonomian Indonesia. Namun, pada tahun 2021 perekonomian diperkirakan akan pulih dengan cepat. Kinerja ekonomi Indonesia menunjukan pemulihan dan sudah berjalan di jalur yang tepat.

Ditambahkan oleh Febrio bahwa APBN 2020, termasuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN), berperan penting dalam menjaga daya beli, terutama bagi kelompok miskin dan rentan serta keberlangsungan dunia usaha, termasuk UMKM. Perlindungan sosial mampu menahan angka kemiskinan pada level 10,19% pada tahun 2020. Tanpa adanya program perlindungan sosial, Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan bisa mencapai 11,8%.

?Ini artinya PEN 2020 diperkirakan mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang dari kemiskinan,? ungkap Febrio.

Pada tahun 2021, Indonesia terus memperkuat penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dengan melanjutkan berbagai kebijakan prioritas, program vaksinasi massal, dan menggalakkan gerakan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) dan 3T (Tracing, Testing, Treatment). Pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk PEN tahun 2021 dari sebelumnya Rp356,5 triliun menjadi Rp699,4 triliun. Anggaran tambahan tersebut terutama untuk memenuhi pendanaan program vaksinasi dan penciptaan lapangan kerja.

?Kami optimistis penguatan PEN akan terus menjadi strategi penting untuk menopang pemulihan ekonomi yang lebih solid tahun ini,? ujar Febrio.

Lebih lanjut, Febrio menyampaikan bahwa krisis yang dialami saat ini telah memusatkan perhatian kita pada isu lingkungan, perubahan iklim, dan ketahanan. Perubahan iklim telah meningkatkan kemungkinan berjangkitnya penyakit, menyebabkan pandemi dan krisis kesehatan masyarakat yang serupa atau bahkan lebih buruk dari yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, penting untuk mendorong ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Sebelum pandemi, Indonesia telah meletakkan fondasi ekonomi hijau dan membuat beberapa kebijakan strategis terkait iklim, seperti mengembangkan mekanisme Climate Budget Tagging (CBT) dan mengintegrasikannya ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran nasional sejak 2016. Dari sisi pembiayaan, pemerintah telah menerbitkan Sovereign Global Green Sukuk setiap tahun sejak 2018 dengan total USD2,75 miliar. Hasil bersih dialokasikan untuk membiayai transportasi yang berkelanjutan. Ke depan, pemerintah juga mempertimbangkan penetapan harga karbon untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mengoptimalkan penerimaan negara untuk meningkatkan investasi hijau dan mengembangkan Climate Change Fiscal Framework (CCFF). Indonesia juga telah menawarkan kepada sektor swasta berbagai insentif fiskal untuk meningkatkan pembangunan rendah karbon, termasuk Geothermal Fund.

?Saya ingin tegaskan kembali bahwa Indonesia, dalam menghadapi pandemi global, tetap teguh pada komitmen iklimnya dan saya yakin komitmen ini juga akan dipertahankan oleh negara-negara di Asia dan juga dunia,? ucap Febrio.

Acara ini akan diselenggarakan selama 3 hari, yaitu Rabu, 24 Februari 2021 hingga Jumat, 26 Februari 2021 dengan mengusung tema Fiscal Policy Instruments and Green Development. Diskusi hari pertama membahas topik tentang Pilihan Kebijakan Fiskal dan Implikasinya bagi Pembangunan Berkelanjutan. Selanjutnya pada hari kedua, membahas mengenai Instrumen Keuangan Hijau dan Insentif Fiskal. Sedangkan topik hari terakhir, yakni Administrasi Fiskal dan Pembagunan Hijau di Sub-National Level. (cs)