Keuangan Syariah Sangat Berperan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional

Jakarta (25/08) – Annual Islamic Finance Conference (AIFC) ke-5 hari ini dilangsungkan secara virtual dengan mengangkat tema ‘Peran Keuangan Syariah dalam Pemulihan Ekonomi Nasional: Meningkatkan Produktivitas, Stabilitas Keuangan, Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif’. Menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, AIFC ke-5, acara ini menjadi sarana diskusi untuk mempromosikan pengembangan keuangan syariah yang mencakup kerangka, penerapan, model, isu bisnis syariah, dan instrumen keuangan syariah yang digunakan selama pemulihan ekonomi pasca Pandemi COVID-19 (sejalan dengan road map Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022 mendatang).

“Dalam dekade terakhir, keuangan syariah telah menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri keuangan global, bahkan melampaui pasar keuangan konvensional. Global Islamic Economic Report (2020) memperkirakan nilai aset keuangan syariah meningkat 13,9% pada 2019, dari $2,52 triliun menjadi $2,88 triliun. Akibat dampak dari krisis COVID-19, nilai aset keuangan syariah diperkirakan tidak menunjukkan pertumbuhan pada tahun 2020 tetapi diproyeksikan akan pulih dan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) 5 tahun sebesar 5% mulai tahun 2019 dan seterusnya. mencapai $3,69 triliun pada tahun 2024”, ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menambahkan bahwa pertumbuhan tersebut mulai dari sektor perbankan dengan aset yang tumbuh 15,6% (yoy) pada Mei 2021 dan mencapai Rp 598,2 trilyun, hingga pasar modal syariah yang mencatatkan pertumbuhan investor sebesar 9,3% dalam tiga bulan pertama tahun 2021.

“Keuangan syariah dipercaya sebagai salah satu instrumen yang berperan penting dalam mendukung program pemulihan ekonomi dan mengurangi kemiskinan melalui pemberdayaan usaha/ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan keuangan syariah yang memberi cara, kerangka, yang mengatur aset dan transaksi berdasarkan prinsip keadilan dan ketulusan. Semua itu terlihat dari mekanisme pembiayaan risiko yang adil dalam pembiayaan syariah serta kehadiran sosial keuangan syariah seperti zakat, waqf, dan infaq,” ungkap Febrio.

Selanjutnya, bertindak sebagai Acting Director General Islamic Research & Training Institute Sami Al Suwailem  secara khusus menyatakan bahwa kebijakan lockdown juga telah memberikan dampak negatif kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di berbagai negara di dunia, termasuk dalam memenuhi kewajiban cicilan pembiayaan atas usaha yang mereka miliki. Sami menekankan pentingnya paradigm shift dari debt-driven economic growth kepada risk-sharing economic growth dan shared prosperity.

Risk-sharing merupakan kerangka untuk membangun negara yang resilien dan dinamis, dan menjadi fondasi kuat untuk mendukung UMKM dengan biaya ekonomi yang optimal. Prinsip risk-sharing perlu dijalankan dalam seluruh lapisan ekonomi, termasuk sektor bisnis (profit) dan sosial (non-profit). Dalam hal ini, keuangan sosial Islam, termasuk zakat, sadaqah, waqaf, merupakan safety net yang penting dalam stabilisasi kondisi keuangan UMKM, dan ekonomi masyarakat secara umum.

Managing Director World Bank Mari Elka Pangestu, yang tampil sebagai pembicara tamu dalam acara ini, menyampaikan bahwa terdapat empat kunci kontribusi keuangan syariah pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi. “Pertama, melalui peningkatan dukungan terhadap UMKM. Hal ini mengingat keuangan syariah dapat menawarkan berbagai fitur dan instrumen yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan UMKM. Kedua, melalui peningkatan inklusi keuangan melalui penggunaan teknologi digital. Ketiga, instrumen khusus pada keuangan syariah seperti zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah serta takaful (asuransi syariah) dapat dijadikan sebagai instrumen untuk melindungi kelompok masyarakat yang rentan. Dan yang terakhir, dukungan instrumen keuangan syariah dalam pemulihan ekonomi hijau (green economy) dengan memfasilitasi dan menyalurkan modal untuk investasi hijau”, ujar Mari.

Mari menambahkan, oleh karena keempat hal tersebut, penguatan keuangan syariah juga perlu didorong. Rekomendasi penguatan pada keuangan syariah mencakup pada pilar landasan hukum, regulasi dan pengawasan, manajemen risiko dan tata kelola, standarisasi produk dan dokumentasi, literasi keuangan, dan SDM Profesional.

Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang bertemakan ‘Keberlanjutan dan Pertumbuhan Inklusif: Mempertahankan SDM dan Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing’ yang dimoderatori oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Kiki Verico.

“Secara umum, masih ada tantangan dari perkembangan pasar global seperti peningkatan biaya pada perdagangan internasional dan peningkatan harga komoditas, serta kondisi sektor keuangan internasional yang belum optimal. Selain itu, minimnya pertumbuhan lapangan pekerjaan, juga risiko non-performing loan dan normalization monetary policy turut menjadi tantangan bagi pemulihan ekonomi global dan negara-negara berkembang. Oleh karenanya, pembuat kebijakan perlu menyeimbangkan kebutuhan untuk mendukung pemulihan sembari menjaga stabilitas harga dan kesinambungan fiskal dan untuk melanjutkan upaya untuk mendorong reformasi yang meningkatkan pertumbuhan,” jelas Lead Economist World Bank, Habib Rab.

Sejalan dengan Habib Rab, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan BKF Adi Budiarso menyampaikan bahwa COVID-19 mengakibatkan tekanan yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Untuk itu, Indonesia telah berupaya untuk melakukan kombinasi kebijakan yang mengakselerasi penanganan pandemi maupun pemulihan ekonomi, seperti melalui intervensi pada bidang kesehatan publik dan pemberian stimulus untuk ketahanan dan pemulihan. Implentasi kebijakan counter-cyclical Pemerintah melalui APBN telah sukses membatasi dampak dari pandemi COVID-19 dan mengurangi kontraksi ekonomi. Selain itu, Indonesia juga berfokus kepada konsolidasi fiskal untuk menjaga resiliensi Indonesia dan upaya reformasi struktural seperti melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

Turut hadir sebagai panelis lainnya, Deputy Minister for International Affairs Saudi Arabia Ryadh M. Alkhareif yang berbagi pengalaman bagaimana Pemerintah Arab Saudi merespon krisis COVID-19 dan melakukan pemulihan ekonomi.

“Pemerintah Arab Saudi memprioritaskan pengeluaran negara untuk belanja kesehatan dan pendidikan, termasuk untuk perlindungan sosial. Pada masa pandemi, Pemerintah Arab Saudi juga memberikan donasi berupa perangkat untuk pendidikan secara daring. Kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan SDM sangat berkaitan. Seperti Indonesia, Arab Saudi juga sedang menikmati bonus demografi. Sehingga memastikan keterkaitan outcome antara kebijakan fiskal dan pengembangan SDM perlu menjadi fokus utama,” jelas Ryadh. (fms)