Dorong Lifting, Pemerintah Beri Insentif untuk Industri Hulu dan Hilir Migas

Jakarta, (10/10): Kontribusi minyak dan gas (migas) nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami tren penurunan. Pada tahun 2018 misalnya, share migas hanya sebesar 5,3% dari PDB. Ini disebabkan oleh harga minyak dunia yang turun dan pertumbuhan yang mengalami kontraksi sejak 8 tahun terakhir.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, dalam acara Sarasehan Migas di City Plaza, Jakarta, mengatakan bahwa konsumsi nasional yang sudah melebihi supply, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor komoditas tersebut, utamanya minyak. Jumlah impor yang yang meningkat sejak 2011, membuat defisit transaksi berjalan makin melebar.

Lebih lanjut Suahasil menerangkan, untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dan mendorong lifting migas yang kian turun, pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk industri hulu dan hilir migas. Ia menjelaskan untuk meningkatkan kegiatan di sektor hulu, insentif fiskal dapat dimanfaatkan oleh investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor hulu yaitu insentif fiskal dengan skema kontrak bagi hasil gross split. Insentif diberikan dari tahapan eskplorasi hingga eksploitasi yang berupa pembebasan bea masuk atas impor barang; PPN, PPNBM, PPh Pasal 22 yang tidak dipungut; pengurangan PBB 100%; kompensasi kerugian sampai dengan 10 tahun; dan pembebasan PPN untuk pemanfaatan asset bersama migas. “Kita berharap, dengan seluruh fasilitas dan insentif tersebut, maka industrinya menjadi economically more feasible,” ujar Suahasil.

Selain pemberian insentif untuk hulu migas, pemerintah juga memberikan insentif berupa tax holiday bagi industri di sektor hilir seperti kilang minyak. Ia pun berharap, dengan pemberian tax holiday tersebut, selain dapat mendorong produksi, perusahaan juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. (is)