BKF Beri Seminar Insentif Perpajakan kepada Mahasiswa Bali

Bali, (20/11); Sebagai salah satu bentuk diseminasi kebijakan fiskal kepada dunia akademis, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan pada hari Rabu (20/11) menyelenggarakan seminar bertajuk "Peran Insentif Perpajakan Dalam Rangka Mendorong Investasi" di Kuta, Bali. Dalam seminar yang dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Udayana, Undiknas Denpasar, dan Universitas Mahasaraswati ini, Kepala Kanwil DJP Bali Goro Ekanto selaku keynote speaker menyampaikan bahwa salah satu tugas dan fungsi BKF adalah merumuskan kebijakan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang terkait dengan pemberian fasilitas perpajakan.

"Diharapkan dari kegiatan-kegiatan seperti ini akan memberikan pemahaman terkait dengan keuangan negara atau kebijakan fiskal yang dilakukan Kementerian Keuangan. Untuk itu diharapkan rekan-rekan mahasiswa dan dosen dapat memanfaatkan kegiatan seminar ini dengan baik dengan menggali sebanyak mungkin terkait dengan pemberian insentif perpajakan," harap Goro.

Acara inti seminar menghadirkan dua narasumber dari Badan Kebijakan Fiskal yakni Wawan Juswanto, staf senior yang juga ex Senior Economist ADB Institute dengan paparan berjudul "Perekonomian Indonesia Terkini dan Kebijakan Fiskal 2019 dan 2020" dan Suska, Kepala Subbidang PPN Perdagangan dan Industri dengan paparan "Peranan Insentif Fiskal Dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan Ekonomi". Sesi pemaparan materi sekaligus sesi tanya jawab dipandu oleh moderator Ami Muslich, Kepala Subbidang PPN Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya.

Wawan Juswanto pada paparannya menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia pada Q3 2019 tumbuh sebesar 5,02. Pertumbuhan ini didorong oleh permintaan domestik. "Perkembangan ekonomi yang terjaga sehat akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang terus membaik," ujar Wawan. Terkait kebijakan fiskal dan APBN 2020, Wawan mengungkapkan bahwa strategi yang ditempuh pemerintah ialah mengoptimalkan kontribusi penerimaan perpajakan dan dilakukannya peningkatan belanja negara yang lebih berkualitas (spending better).

Beberapa langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan tersebut antara lain meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, perbaikan kualitas pelayanan dan pengawasan, implementasi keterbukaan informasi perpajakan (AEOI), dan ekstensifikasi barang kena cukai. Dikatakan Wawan, optimalisasi penerimaan negara tersebut juga disertai dukungan terhadap perekonomian dan dunia usaha melalui insentif fiskal.

Narasumber kedua Suska pada kesempatan ini memperkenalkan konsep perpajakan kepada para peserta yang merupakan mahasiswa fakultas ekonomi. Suska menjelaskan pengertian dari Pajak Pertambahan Nilai atau yang biasa dikenal dengan PPN. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Barang dan Jasa yang dilakukan di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Suska juga menerangkan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN seperti barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, dan berbagai barang dan jasa lainnya.

Lebih lanjut, Suska menyampaikan berbagai insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2019, Suska mengungkapkan ada 2 kebijakan PPN yang diterbitkan. Pertama, Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2019. "PP 50 berisi tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai," jelas Suska. Terdapat 4 kelompok yang atas impor dan/atau penyerahan terkait alat angkutan tertentunya tidak dipungut PPN, yakni: Kementerian Pertahanan/TNI/Polri, Kapal, Pesawat Udara, dan Kereta Api. Sedangkan jasa yang terkait alat angkutan tertentu atas penyerahannya tidak dipungut PPN meliputi: Jasa persewaan kapal, kepelabuhan, perawatan dan perbaikan kapal, persewaan pesawat udara, perawatan dan perbaikan pesawat udara, serta jasa perawatan dan perbaikan kereta api.

Kedua, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. "Tujuan dari PMK ini adalah meringankan beban masyarakat atas musibah bencana alam baik yang berskala nasional maupun tidak dan mempertahankan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh rumah," kata Suska.

Selain PPN, Suska juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2019 pemerintah menerbitkan fasilitas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). PMK 86 tahun 2019 diterbitkan pemerintah untuk lebih mendorong pertumbuhan sektor properti melalui peningkatan daya saing properti dan investasi di sektor properti. Pada PMK ini, batasan harga jual pengenaan PPnBM dengan tarif 20% pada kelompok hunian mewah diubah dari 20 miliar menjadi 30 miliar untuk rumah dan townhouse nonstrata title, serta 10 miliar menjadi 30 miliar untuk apartemen, kondominium, dan town house dari jenis strata title. Dikatakan Suska, pemerintah juga menerbitkan PMK 73 tahun 2019 untuk lebih mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan ramah lingkungan. (atw/aan)