Pemerintah Teruskan Transparansi Fiskal Lewat Laporan Belanja Perpajakan 2018

Jakarta (12/12) – Pemerintah menunjukkan komitmen berkelanjutan di bidang transparansi fiskal dengan menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report/TER) 2018. Ini merupakan edisi kedua yang diluncurkan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF), dimana terdapat perluasan cakupan jenis pajak, penambahan jumlah peraturan yang dapat diestimasi, serta perbaikan data maupun metodologi perhitungan untuk tahun-tahun sebelumnya.

Pada tanggal 12 Desember 2019, BKF menyelenggarakan Sosialisasi Laporan Belanja Perpajakan 2018, yang dihadiri oleh segenap akademisi, konsultan pajak, pemerhati pajak, dan instansi pemerintah sebagai salah satu upaya untuk melakukan diseminasi dan diskusi terkait dengan peluncuran TER 2018.

“Di dunia ini jarang sekali negara yang berani mengeluarkan TER. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat berupaya mengedepankan transparansi fiskal melalui TER ini”, ujar Singgih Ripat, Peneliti Utama BKF saat membuka sosialisasi.

Singgih melanjutkan bahwa besarnya belanja perpajakan menunjukkan variasi kebijakan perpajakan dalam bentuk pemberian insentif, pengurangan, pembebasan, atau kebijakan khusus lainnya di bidang perpajakan. “Jenis pajak yang baru ditambahkan dalam laporan tahun ini adalah PBB sektor P3, setelah sebelumnya penghitungan dilakukan untuk berbagai jenis pajak yang dikelola Pemerintah Pusat, yaitu PPN dan PPnBM, PPh, Bea Masuk, dan Cukai”, lanjut Singgih.

Sosialisasi ini diselenggarakan dengan menghadirkan sejumlah narasumber dan dimoderatori oleh Sofia Arie Damayanty, Peneliti BKF. Narasumber pertama, Gunawan Pribadi, Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian menjelaskan latar belakang mengapa pemerintah perlu memberikan berbagai insentif perpajakan di dunia usaha.

“Agar Indonesia keluar dari Middle Income Trap, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahun 2020-2024 harus sebesar 6,0%, dan melihat pertumbuhan ekonomi terakhir yang masih di angka 5,02%, kondisi ini berat. Untuk mencapai angka tersebut, investasi berperan penting dan harus mencapai 7%. Pemberian insentif perpajakan oleh pemerintah sendiri salah satunya bertujuan untuk mendukung iklim investasi yang baik di Indonesia”, jelas Gunawan.

Lebih jauh, Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Bidang Program Analisis Kebijakan di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF menjelaskan urgensi dan manfaat penerbitan TER yang harus berkelanjutan.

“Yang pertama adalah transparansi informasi kepada publik dan menyelaraskan dengan praktik di dunia internasional. Kedua, TER ini sangat penting sebagai bagian dari akuntabilitas pemerintah kepada publik terkait kebijakan fiskal di insentif perpajakan. Ketiga, sebagai instrumen pengawasan dan evaluasi. Informasi yang ada dalam TER diperlukan dalam rangka analisis efektivitas kebijakan fiskal di bidang perpajakan untuk meminimalisir risiko pembebanan belanja perpajakan yang dapat mengganggu stabilitas fiskal. Terakhir, TER dapat mengidentifikasi bentuk dan estimasi besaran pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendukung investasi, dan iklim usaha di Indonesia”, jelas Oka.

Di sisi lain, menurut narasumber ketiga, Hadi Setiawan, Peneliti Madya BKF menjelaskan bahwa belanja perpajakan bukan hanya ditujukan untuk dunia usaha. “Sebagian besar tujuan belanja perpajakan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (51%) dan mengembangkan UMKM (28%). Sedangkan porsi belanja perpajakan untuk mendorong investasi dan mendukung dunia bisnis pada tahun 2018 sebesar 21%”, jelas Hadi.

Estimasi belanja perpajakan di tahun 2018 adalah sebesar Rp221,1 Triliun (1,49% dari PDB 2018). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar Rp196,8 Triliun (1,45% dari PDB 2017). Pada tahun 2018, sebesar Rp100,9 Triliun (46% belanja perpajakan) diberikan kepada sektor rumah tangga. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa estimasi belanja perpajakan terbesar yang dapat dihitung dalam laporan ini adalah untuk jenis pajak PPN.

 (fms/cs)