Ini Strategi Pemerintah Pulihkan Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19

Jakarta (09/06): Penyebaran Covid-19 yang mudah, cepat dan luas menciptakan krisis kesehatan sehingga pemerintah melakukan langkah untuk flattening the curve yang memiliki konsekuensi pada berhentinya aktivitas ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja. Menghadapi hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk memulihkan ekonomi.

“Krisis yang kita hadapi sekarang ini sejatinya adalah krisis kesehatan. Kalau vaksinnya belum ketemu, kita akan terus dipenuhi ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang harus direspons kita semua sebagai bangsa,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam Bincang Sore Bersama FEB UI melalui video conference pada Selasa (09/06).

Febrio menjelaskan bahwa krisis kesehatan sudah pasti berdampak pada krisis sosial dan ekonomi. Adanya pembatasan sosial, pembatasan mobilitas menyebabkan kemiskinan dan pengangguran akan naik dan secara ekonomi GDP akan melambat. Hal ini kemudian akan mengakibatkan instabilitas di sektor keuangan karena pelaku usaha kesulitan membayar utangnya sehingga perlu ada restrukturisasi.

“Ini kurang lebih cara berpikir kita ketika mengantisipasi dampak Covid-19,” jelas Febrio.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 tahun 2020 adalah sebesar 2,97%. Febrio menegaskan bahwa pemerintah tetap melihat kemungkinan kedalaman yang cukup besar akan terjadi di Q2. Q3 diproyeksikan akan lebih baik dan harapannya Q4 dapat lebih baik lagi namun adanya kemungkinan episentrum Covid-19 di Indonesia bisa bergeser menyebabkan pemerintah harus lebih antisipatif. Saat ini pemerintah memperkenalkan program yang namanya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“PEN Ini sudah melalui proses yang cukup panjang. Saat ini pemerintah sedang menyiapkan menu-menunya, lalu sedang kita konsultasikan dengan berbagai stakeholder karena kita ingin memastikan bahwa ini adalah pekerjaan kita bersama bukan hanya pemerintah,” ungkap Febrio.

Pemerintah telah menganggarkan biaya penanganan Covid-19 sebesar Rp 677,2 T dengan rincian sebagai berikut: kesehatan Rp 87,55 T; perlindungan sosial Rp 203,90 T; Insentif  Dunia Usaha Rp 120,61 T; UMKM Rp 123,46 T; pembiayaan korporasi Rp 44,5 T, Sektoral K/L dan Pemda Rp 97,11 T.

Untuk mendorong konsumsi, pemerintah mengeluarkan program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan, kartu sembako, bansos jabodetabek, kartu pra kerja, diskon listrik dan BLT dana desa. Kemudian pemerintah juga memberikan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

“Kebijakan dari sisi konsumsi ini untuk mendukung rumah tangga, agar daya beli tidak terlalu jauh turunnya dan supaya masyarakat berpenghasilan rendah tetap bisa makan dan hidup,” jelas Febrio.

Sementara dari sisi produksi, pemerintah mengeluarkan kebijakan antara lain subsidi bunga, penempatan dana untuk restru UMKM, PMN, insentif perpajakan, dukungan pemda, dan program padat karya Kementerian Lembaga.

“Pasti yang pertama kita dukung adalah rumah tangga, terutama kelompok yang paling rendah, lalu kalau sektor usaha yang kita dukung adalah UMKM dan Ultra mikro,  oleh karena itu kita keluarkan subsidi bunga, penjaminan kredit modal kerja. Lalu kita lihat juga apakah korporasi bisa dibantu. BUMN juga dapat terutama BUMN yang punya posisi strategis dan terdampak Covid-19,” tambah Febrio.

Febrio juga menjelaskan bahwa anggaran di bidang kesehatan ditambah dari yang sebelumnya Rp 75 T menjadi Rp 87,55T karena pemerintah merespons situasi yang terjadi.

Selain Febrio, narasumber pada Bincang Sore ini berasal dari LPEM FEB UI yaitu Kepala Kajian Iklim Bisnis dan Rantai Nilai Global Mohamad Dian Revindo dan Kepala Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Perilaku Chaikal Nuryakin serta dimoderatori oleh Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM FEB UI Kiki Verico. (cs)