Kepala BKF: Isu Kemiskinan Perlu Dapat Perhatian Besar

Jakarta (27/07) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal berkesempatan menjadi narasumber dalam acara Keynote Policy Dialogue - Multidimensional Poverty in the Midst of the COVID-19 Pandemic. Acara yang merupakan side event T20 Task Force 5 ini digelar oleh FEB UI dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) pada Rabu, 27 Juli 2022. Febrio menyampaikan bahwa pandemi yang kita hadapi dalam 2 tahun terakhir ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan dan capaian pemerintah terkait pengurangan kemiskinan di Indonesia.

“Baik Indonesia dan juga Global saat ini sedang dihadapkan pada berbagai tantangan dan ketidakpastian, seperti tantangan geopolitik yang menyebabkan gangguan dari sisi supply dan ketidakpastiaan harga energi dan pangan,” ujar Febrio.

Lebih lanjut, Febrio memaparkan bahwa saat ini banyak negara di dunia baik negara berkembang maupun negara maju yang sedang menghadapi inflasi. Beberapa negara merespons hal ini dengan menaikkan suku bunga termasuk negara dengan ekonomi yang besar seperti di US dan Eropa. Hal ini tentunya akan menambah ketidakpastian bagi kebijakan makroekonomi Indonesia. 

“Kita bersyukur dalam 2 tahun terakhir, khususnya dari 2021 sampai sekarang, penerimaan kita cukup kuat,” jelas Febrio.

Pemerintah memanfaatkan penerimaan tersebut untuk menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi, misalnya dengan tidak menaikkan harga bensin, listrik dan LPG.

Febrio menambahkan bahwa pemulihan ekonomi yang solid terus berlanjut di tengah gelombang omicron dan meningkatnya ketidakpastian global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01% pada kuartal 1 2022. Namun pertumbuhan ekonomi tidak akan berkualitas tanpa memastikan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dirancang untuk mempercepat pemulihan ekonomi juga sebagai perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan.

Dalam kesempatannya, Febrio juga menekankan beberapa aspek penting yang dapat menjadi perhatian bersama seperti pencapaian visi Indonesia 2045, dimana aspek multidimensi dari isu kemiskinan perlu mendapat perhatian besar. Respons kebijakan fiskal terkait itu dapat dimanifestasi melalui investasi kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga pemenuhan infrastruktur dasar. Berbagai kebijakan ini tentu perlu didukung oleh kebijakan makroekonomi yang kuat dan stabil.

“Pekerjaan besar ini tentu memerlukan kontribusi dari semua pihak, terutama dengan para akademisi, peneliti dan think tank yang keahliannya sangat diperlukan dalam membangun perekonomian Indonesia ke depan dengan berbagai tantangannya,” tutup Febrio. (cs)