Temukan Sumber Pertumbuhan Baru di AIFED Ke-10

Jakarta (01/12) - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara resmi membuka The 10th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) yang mengangkat tema ‘Finding New Sources of Growth to Recover Stronger’.

AIFED Ke-10 di hari pertama ini dilanjutkan dengan Keynote Lectures Session: Driving the development ecosystem of innovation-driven product. Acara kemudian dilanjutkan dengan pembahasan aspek 4P pertama yaitu Product yang terdiri dari dua sesi, Session I: Global consensus in stimulating new growth path, Session 2: Seizing Emerging Opportunities to Accelerate Economic Transformation, serta diakhiri dengan Leader’s Podcast: Fiscal Policy Dynamics to 2045 yang disampaikan oleh Menteri KeuangancSri Mulyani Indrawati.

“Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi menjadi ekonomi besar dengan pertumbuhan yang stabil sehingga kontribusinya terus meningkat terhadap PDB dunia. Aspek inovasi menjadi kunci bagi setiap negara untuk terus berkembang dan keluar dari Middle Income Trap (MIT),” jelas Keun Lee dari Seoul National University pada Keynote Lectures Session.

Keun Lee melanjutkan bahwa negara kelas menengah yang merupakan pengekor (latecomer) dapat menyusul negara yang lebih maju (forerunner) dengan melakukan leapfrogging, misalnya dengan menciptakan sistem inovasi nasional. Partisipasi suatu negara dalam Global Value Chain (GVC) juga penting namun harus diikuti dengan penciptaan nilai tambah domestik yang lebih tinggi sehingga rantai produksi tidak berhenti pada nilai tambah yang rendah dan terperangkap dalam liberalisasi ekonomi.

Selanjutnya, Kaushik Das dari McKinsey Southeast Asia menjadi panelis pertama yang mempresentasikan tentang konsensus terkait perubahan struktur ekonomi global pascapandemi COVID-19 pada Product Session I.

Pandemi COVID-19 mengakselerasi beberapa fenomena masa depan, diantaranya digitalisasi, automasi, dan eskalasi isu lingkungan. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam memanfaatkan tren tersebut, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi digital dan green economy. Indonesia diprediksi dapat menciptakan nilai tambah sekitar US$100–125 miliar dari green economy di tahun 2050. Untuk merealisasikan hal tersebut, Indonesia harus terus mendorong produktivitas melalui pemanfaatan teknologi digital, peningkatan kualitas SDM, dan fasilitas kesehatan,” ujar Kaushik Das.

Selaras dengan hal tersebut, Warwick McKibbin dari Crawford School of Public Policy, Australian National University menyampaikan pentingnya green economy untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

“Kedua hal tersebut dapat saling beriringan dan bukan merupakan trade-off. Meski demikian. hal ini sangat tergantung pada desain kebijakan yang diambil. Kebijakan ekonomi hijau akan berbeda antarnegara tergantung dengan tingkat kemajuan, sumber daya, struktur ekonomi dan kelembagaan. Opsi kebijakan yang dapat dilakukan diantaranya dengan pengenaan carbon pricing dan mendorong green supply policy seperti pemberian subsidi untuk renewable production serta peningkatan infrastruktur hijau,” jelas Warwick.

Lebih lanjut, Warwick menjelaskan bahwa peran dukungan pembiayaan global sangat penting dalam mendukung negara berkembang untuk dapat melakukan transformasi ini. Dengan mempertimbangkan potensi demografi, sumber daya alam, serta aspek ekonomi, Indonesia memiliki posisi yang sangat baik untuk meraih peluang dari green economy, namun hal tersebut tentunya harus didukung dengan desain dan implementasi kebijakan yang tepat.

“Terdapat risiko pemulihan ekonomi global akibat adanya perbedaan supply vaksin antarnegara yang berakibat pada perbedaan kecepatan pemulihan ekonomi global. Negara dengan akses vaksin yang baik dapat pulih lebih cepat, sehingga mendorong aktivitas perdagangan global. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi yang tidak merata menyebabkan tingkat partisipasi dalam Global Value Chain (GVC) menjadi menurun,” ungkap James P. Walsh dari IMF Indonesia.

GVC menjadi fitur penting karena kemampuannya untuk mendorong ekspor manufaktur dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Untuk meningkatkan partisipasi dalam GVC, diperlukan peningkatan keterbukaan perdagangan dan investasi. Penurunan hambatan perdagangan, khususnya hambatan nontarif diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi scarring effect akibat pandemi COVID-19.

James melanjutkan beberapa prioritas kebijakan yang dapat dilakukan Indonesia diantaranya dengan terus meningkatkan daya saing, memperbaiki sistem perpajakan perdagangan internasional, meningkatkan keterbukaan investasi langsung dan fleksibilitas pasar tenaga kerja, termasuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif. (fms)